1. Pendahuluan
Etnik
Muna, secara etimologis berasal dari kata ‘Wuna’.
Wuna merupakan salah satu wilayah kepulauan yang terletak di ujung jazirah
tenggara pulau Sulawesi. Masyarakat etnik Muna menyebut dirinya sebagai orang Tomuna[3]
yang merupakan penduduk asli Kabupaten Muna. Adapun ciri-ciri orang Tomuna adalah sebagai berikut ;
tinggi badan kurang lebih 160 cm, besar badan sedang, mata sedang (tidak besar
tidak sipit), rambut berombak, warna kulit gelap. Menurut La Ode S. Djaruju[4],
‘jika dilihat dari ciri-ciri fisik yang dimilikinya, maka orang Muna cenderung
mendekati rumpun orang Ambon (Maluku) atau orang Timor (Flores) atau
percampuran antara keduanya’.
Setiap masyarakat etnik, termasuk masyarakat etnik Muna memiliki tradisi lisan
dengan kandungan makna yang khas dan berkaitan dengan nilai dan fungsi
pelestarian lingkungan (ekologi). Lingkungan dalam tulisan ini mengacu
pada lingkungan dalam ruang alamiah dan
ruang sosial. Konstruksi tradisi lisan ini dikemas dalam simbol verbal berupa
kata, nomina (abstrak dan konkret), frasa, ataupun wacana yang digunakan dalam
ruang ekologi tertentu merupakan mozaik yang tak pernah kering untuk digali,
ditafsir dan dimaknai secara kontekstual untuk melestarikan lingkungan. Pada
sisi yang lain, tradisi lisan dapat pula dikatakan sebagai produk buah pikiran
masyarakat etnik yang dapat difungsikan untuk memecahkan permasalahan
lingkungan alamiah dan lingkungan sosial. Tradisi lisan juga dibangun oleh
suasana tuturan dan energi bahasa, serta roh kekuatan cakap-cakap yang menyatu
dalam bunyi-bunyi bahasa yan dituturkan. Roh tradisi lisan adalah memuliakan
kehidupan, serta menguatkan simpul-simpul persatuan dan kebersamaan, termasuk
memuliakan lingkungan sebagai jantung dan sumber kehidupan. Amanat tradisi
lisan yang terungkap dalam lingkungan sosial misalnya, mampu mengkungkap
tentang pentingnya kebersamaan, kekompakan, dan keharmonisan dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara itu, dalam lingkungan
alamiah tradisi lisan mampu menuntun manusia untuk bersikap dan bertingkah laku
arif terhadap lingkungan alam.
Tradisi
lisan yang dimaksudkan di sini adalah tradisi lisan yang dikemukakan oleh Hoed
(2008: 184) yang menyatakan, berbagai pengetahuan adat kebiasaan yang secara
turun-temurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal seperti yang
dikemukan oleh Roger Told dan Pudentia (1995: 2) yakni…”oral traditions do not only contain folktales, myth and legends (…),
but store complete indigeneous cognate systems. To
name a few: histories, legal practices, adat law, medication”.
Dalam konteks ini tradisi lisan dibatasi pada mitos,
sumpah serapah, pengetahuan tradisional, falsafah hidup, ritual, dan nyanyian
rakyat. Tradisi lisan etnik Muna ini sesungguhya masih merupakan “hutan
perawan”, sangat kaya dan potensial untuk digali, ditafsir, dan dibedah dalam
konteks sekarang untuk dijadikan modal sosio-ekologis terutama dalam
pelestarian lingkungan.
2.
Tradisi Lisan dan Fungsi Pelestarian Lingkungan
2.1.1 Tradisi Lisan dan
Fungsi Ekologis
Tradisi
lisan dan fungsi ekologis pada bagian ini hanya diuraikan tentang mitos
penciptaan dunia, sumpah serapah Paelangkuta, dan sistem pengetahuan yang
terdiri atas falia ‘pantang larang’, sangia ‘Sanghiyang’ dan kaindea ‘kawasan hutan’. Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.
Terkait
dengan mitos, masyarakat etnik Muna memiliki tradisi lisan berupa mitos
penciptaan dunia. Dunia menurut kepercayaan etnik Muna diciptakan oleh Kawasono ompu dari empat unsur, yaitu api, angin, air,
dan tanah (Aris, 2009: 53-55). Kearifan ekologis terkandung pula di balik mitos
penciptaan dunia, dalam perspektif masyarakat etnik Muna ini. Pada mulanya
keempat unsur tadi bergejolak saling berbenturan satu dengan yang lain. Angin
bertiup begitu kencangnya sehingga menghancurkan segala sesuatu yang ada di
sekitarnya. Begitupun juga dengan api yang menyala begitu membara sehingga
membakar apa saja yang ada di sekitarnya, sementara air meluap, kian ke sana
kian ke mari. Sehingga kondisi seperti ini, membuat suasana menjadi kacau
balau. Melihat suasana seperti itu, maka
bergegaslah Kawasano ompo turun dari langit untuk mendatangi keempat
unsur tersebut. Dalam pertemuan ini Kawasano ompu memberi perintah.
Sementara perintah yang diberikan antara satu dengan yang lainnya berbeda.
Begitupun juga dengan pertanyaan yang diajukan oleh Kawasano ompu kurang
lebih sama. Adapun
proses tanya jawab antara Kawasano ompu dengan keempat unsur tersebut
adalah sebagai berikut:
Pertama-tama
yang dikunjungi adalah api dan berlangsung proses tanya jawab sebagai berikut:
Kakawasa nokoamba “ingka be karatohakuini ifi” nofetingke
koambaghono Kawasano ompu, oifi netikenda be nofeena, “asombatiko
Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho
sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba, ”ere”.
Artinya, Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai
api” mendengar suara dari Tuhan, api sangat kaget, sambil bertanya, ”saya
mohon ampun kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa
yang hendak engkau berikan kepadaku”. Tuhan berkata “berdiri”.
Setelah api tenang dalam artian berdiri, maka Kawasano
ompu menghadap angin, dan berlangsung proses tanya jawab sebagai berikut;
Kakawasa
nokoamba “ingka be karatohakuini kawea” nofetingke
koambaghono Kawasano ompu, okawea netikenda be nofeena, “asombatiko
Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho
sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba ”longko”.
Artinya,
Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai angin” mendengar suara
dari Tuhan, angin sangat kaget, sambil bertanya, ”saya mohon ampun
kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa yang hendak
engkau berikan kepadaku”. Tuhan berkata “jongkok”.
Setelah angin tenang, dalam artian
telah jongkok, maka Kawasa ompu mendatangi air, dan berlangsung tanya
jawab sebagai berikut;
Kakawasa
nokoamba “ingka be karatohakuini oe” nofetingke
koambaghono Kawasano ompu, oe netikenda be nofeena, “asombatiko
Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho
sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba, ”menua-nua”.
Artinya,
Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai air” mendengar suara
dari Tuhan, air sangat kaget, sambil bertanya, ”saya mohon ampun
kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa yang hendak
engkau berikan kepadaku”. Tuhan berkata “sujud”.
Setelah semuanya tenang, yang
terakhir didatangi oleh Kawasaompu adalah tanah, dan berlangsung tanya
jawab sebagai berikut;
Kakawasa
nokoamba “ingka be karatohakuini wite” nofetingke
koambaghono Kawasano ompu, owite netikenda be nofeena, “asombatiko
Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho
sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba ”mengkora”.
Artinya,
Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai tanah” mendengar suara
dari Tuhan, tanah sangat kaget, sambil bertanya, ”saya mohon ampun
kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa yang hendak
engkau berikan kepadaku”.Tuhan berkata “duduk”.
Setelah keempat unsur tadi berada
pada posisinya masing-masing, maka terciptalah dunia beserta isinya. Begitupun
juga dengan penciptaan manusia, masyarakat etnik Muna percaya bahwa mereka
diciptakan dari keempat unsur tadi yaitu tanah, air, angin dan api. Mereka
menganggap bahwa satu tubuh manusia sama dengan satu dunia, dengan asumsi bahwa
dunia juga diciptakan oleh Kawasano ompu dari keempat unsur tadi.
Jika dicermati mitos di atas,
tampak bahwa masyarakat etnik Muna berpandangan bahwa merusak alam semesta sama
saja merusak diri sendiri, menjaga alam semesta sama saja menjaga diri sendiri.
Untuk itu, manusia dalam hidupnya harus menciptakan suasana yang harmonis
dengan alam semesta sebagai ciptaan Kawasano
ompu. Hal ini senada dengan Radam (2001: 167-168), manusia itu diciptakan
dari unsur yang sama dengan alam semesta (api, angin, air dan tanah) dan
berusaha hidup harmonis dengan alam tersebut. Pola pikir mitologi seperti ini masih cukup kuat dalam
masyarakat etnik Muna. Ada
juga tradisi lisan yang berkembang pada masyarakat
etnik Muna menyebutkan bahwa kayu jati Muna berasal dari Jawa. Karena itu, kayu
jati dalam bahasa Muna disebut kayu kulidawa
(kayu Jawa). Benih jati tersebut dibawa Paelangkuta, ketika kapitalao ‘panglima perang’ itu pulang
dari membantu rakyat Jepara berperang melawan Inggris. Dikisahkan ketika
menanam benih jati itu pertama kali di sebuah kawasan yang kemudian disebut
Napabalano, Paelangkuta mengucapkan semacam sumpah (dalam bahasa Muna) yang
bunyinya:
"Aetisa kulidawa ini so-hintumu mieno Wuna, so-rayatino ne-wuna ini.
Lahalahae sopokalambughono hasilini kulidawa ini suano so-faraluno rayatino
wuna ini, naerimba maka nalompona panaeghawa kasalamati".
‘Saya tanam kulidawa ini untuk
kalian orang Muna, untuk rakyat di Muna ini. Barang siapa yang tidak
memanfaatkan kulidawa ini untuk kepentingan rakyat Muna, cepat atau lambat dia
tidak akan selamat’.
Jika dicermati
sumpah di atas, sungguh sangat berat karena berisi sumpah serapah ‘yang tidak
memanfaatkan kayu jati untuk kepentingan rakyat, maka dia tidak akan
selamat’. Barangkali sumpah Paelangkuta di atas dapat dikaji kembali, dan
difungsikan untuk melestarikan hutan jati di Kabupaten Muna saat ini. Di era
modern ini, perlombaan mengumpulkan materi dengan menghalalkan segala macam
cara termasuk merambah hutan jati. Dengan
memfungsikan sumpah Paelangkuta ini, maka hutan jati Muna akan aman dan tidak
perlu dikawal dengan petugas kehutanan. Asalkan sumpah Paelangkuta yang
bertuah itu, benar-benar difungsikan dan dipahami seluruh masyarakat etnik
Muna. Dalam tradisi lisan etnik Muna pada bagian
ini akan dijelaskan tentang falia yakni pantang-larang (sesuatu yang
boleh dan tidak boleh dilakukan), Sangia ‘Sanghiyang’,
dan kaindea ‘kawasan hutan’. Hal ini
akan diuraikan secara berturut-turut berikut ini. Falia yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, misalnya
dikenal dengan tradisi lisan berbentuk wacana berikut ini.
Falia detando sau wemahono oe
‘Pantang menebang
kayu dekat mata air’
Koise metando sau na itu, nokositani
‘Jangan menebang
pohon itu, ada setannya’
Wacana
lisan di atas, adalah berupa larangan untuk menebang kayu di dekat sumber air
dan larangan untuk menebang kayu karena ada setannya. Kata sitani ‘setan’ adalah sesuatu yang ditakuti, sehingga wacana lisan
di atas mengandung makna larangan menebang hutan karena ada penunggunya.
Pemahaman masyarakat Muna tentang falia adalah larangan untuk menggunakan
sesuatu secara berlebih-lebihan, tetapi falia
dapat berubah menjadi “bisa” apabila telah disyarati oleh pemuka atau orang tua
kampung. Penebangan hutan bisa dilaksanakan apabila bermanfaat bagi kehidupan
manusia (lihat sumpah isi sumpah Paelangkuta di atas), seperti penebangan hutan
untuk pembukaan lahan baru atau lokasi untuk dijadikan pemukiman penduduk.
Ketika berada di dalam hutan misalnya, lalu menebang kayu tanpa izin akan
mendatangkan kemarahan roh, sehingga tidak jarang ditemui orang menderita
penyakit akibat kemasukan oleh roh jahat atau makhluk halus. Tradisi lisan,
berupa ungkapan yang lazim diucapkan untuk meminta izin atau bersalaman kepada
penjaga benda-benda atau tempat yang dianggap sakral itu adalah tabea anabi sau ‘permisi nabi kayu’, tabea anabi wite ‘permisi nabi tanah’
kalau hendak mengambil kayu, atau hendak menggali tanah.
Berkaitan
dengan hutan lindung, diamanatkan dalam wacana lisan:
Bhake awatu o Sangia
‘Beringin itu Sanghiyang’
Kidawa awatu o Sangia
"Jati itu Sanghiyang’
Berdasarkan wacana lisan di atas, pelestarian hutan khususnya beberapa
jenis pohon besar penjaga sumber air, yakni pohon bhake ‘beringin’ pohon kidawa
‘jati’ dilabeli dengan Sangia. Sangia
dapat difungsikan untuk melindungi hutan karena dengan kata itu masyarakat
etnik Muna akan merasa takut untuk menebang atau mengambil kayu di tempat itu
karena memiliki penunggu. Ungkapan di atas menyiratkan makna bahwa Sangia ‘Sanghyang’ sebagai suatu yang
ditakuti. Sangia harus dilindungi dan dijaga kelestariannya
sehingga hutan sebagai sumber air tetap lestari pula. Segala bentuk falia,
senantiasa dihindari agar tidak berakibat pada kemurkaan alam. Jika sekiranya
dalam membuka lahan baru yang disertai dengan penebangan hutan maka biasanya
didahului dengan upacara kaago-ago[5].
Konsep-konsep falia, jika dianalisis secara ilmiah sesungguhnya sarat
dengan makna. Tempat-tempat yang difaliakan
seperti hutan sebagai sumber air, atau hutan sebagai sarang lebah penghasil
madu. Mayarakat etnik Muna sadar bahwa lingkungan yang ditempatinya bukan hanya
manusia yang menghuninya, tetapi ada juga berupa roh halus yang senantiasa di
sekeliling manusia.
Perlu
pula disampaikan bahwa tradisi lisan dalam pelestarian lingkungan terselubung
mistik, berlaku pada masyarakat etnik Muna dan masyarakat etnik lainnya.
Walaupun masyarakat etnik Muna beragama Islam, tetapi Islam yang dianut dan
berkembang dalam masyarakat etnik Muna, tampaknya merupakan Islam sinkritis.
Indikasinya adalah sering ditemukannya keyakinan lain yang bukan berasal dari agama
Islam. Misalnya, mereka yakin akan adanya berbagai makhlus halus yang mendiami
tempat-tempat tertentu seperti hutan, pohon besar, bhake ‘beringin’, batu-batu besar, gunung, dan laut. Berbagai
makhlus halus tersebut dianggap sebagai penjaga atau penunggu tempat tersebut.
Masyarakat etnik Muna yakin bahwa makhlus halus itu ada yang mempunyai sifat
baik dan juga sifat jahat. Agar tidak mencelakakan manusia tempat-tempat
tersebut diberikan sesajen. Selain itu, setiap ingin menggunakan atau
beraktivitas di tempat itu, terlebih dahulu mereka meminta izin atau bersalaman
kepada penunggu atau penjaganya. Dalam
kaitannya dengan pelestarian lingkungan hutan, masyarakat etnik Muna, mengenal
pula kearifan hutan Kaindea ‘kawasan
hutan’. Kaindea umumnya berada di
dekat sumber air dan di sekitar kebun masyarakat. Pada umumnya penghulu kampung
sangat mendukung adanya hutan Kaindea.
Kaindea ini adalah sebagai hutan adat
yang sengaja dibangun masyarakat selama ratusan tahun. Sistem kepemilikan dan
pengelolaannya dilakukan oleh keluarga tertentu. Dalam pemanfaatannya tidak
dapat dikonversi atau diambil kayu kecuali hasil hutan non-kayu dengan izin
selektif pemiliknya. Dalam bahasa lokal tidak ditemukan arti istilah Kaindea, kecuali hanya merujuk pada
hutan yang subur yang dikelilingi kebun dan di dekat sumber air. Posisi
Kaindea berada di tengah atau
dikelilingi kebun masyarakat, sehingga fungsi ekologis Kaindea memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam rangka kesuburan
tanah, ketersediaan air dan penciptaan iklim mikro.
Tradisi
lisan masyarakat etnik Muna seperti diuraikan di atas, diharapkan akan menjadi
penyanggah kultural dan dapat menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi
hutan, yaitu menjamin pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya serta
sistem penyanggah kehidupan. Hutan sebagai penyanggah kehidupan memiliki posisi
strategis, baik terhadap flora, fauna, maupun terhadap masyarakat di
sekitarnya, yang memiliki mata pencaharian pertanian tergantung terhadap air
yang sangat ditentukan oleh lestarinya sumber air. Sebagai masyarakat agraris,
masyarakat etnik Muna masih bergantung pada tanah, pemelihraan lingkungan
hidup, baik hutan, sumber air, maupun lahan garapan untuk perladangan, bahkan
juga lahan atau hutan lindung yang sakral ‘Sangia’,
sesungguhnya telah menjadi amanat leluhur yang harus dipatuhi. Amanat leluhur
terekam dan terungkap secara verbal dalam tradisi lisan, khususnya berkaitan
dengan pemeliharaan, pemanfaatan, dan pelestarian lingkungan. Terkait dengan
pelestarian terhadap lingkungan pada masa lalu seperti mitos penciptaan dunia,
sumpah serapah, sistem pengetahuan (falia,
Sangia, dan kaindea) telah
diwariskan secara turun-temurun pada generasi penerusnya, gagasan pewarisan
nilai-nilai dan aturan hidup itu dilakukan secara lisan. Hal ini sesuai dengan
pandangan Poerwanto (2008: 50) mengatakan bahwa berbagai gagasan, termasuk
gagasan untuk melestarikan lingkungan dapat dikomunikasikan kepada orang lain
dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa, baik lisan maupun (tulisan).
Terkait dengan sikap hidup dan pola-pola tindakan yang konstruktif dalam
pelestarian lingkungan dapat dilihat dari pola-pola pengetahuan masyarakat
dalam memanfaatkan lingkungan. Hal ini pernah ditegaskan oleh Poerwanto (2008:
51), bahwa berbagai cara hidup manusia, termasuk cara mengelola lingkungan,
tercermin dalam pola-pola tindakan (action)
dan tingkah laku (behavior) masyarakat.
Tingkah laku masyarakat etnik Muna masa lalu kaitannya dengan pelestarian
lingkungan dapat dilacak pula di dalam simbol-simbol tradisi lisan yang
digunakan pada masa lampau.
2.2. Tradisi Lisan dan Lingkungan Sosial
Tradisi
lisan berupa mitos, sumpah serapah, dan sistem pengetahuan untuk melestarikan
lingkungan alam, secara panjang lebar telah diuraikan di atas. Namun,
lingkungan alam dalam arti luas di dalamnya ada manusia dan lingkungan sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial hidup bersama orang lain, saling menasehati,
menyayangi, memelihara, mengikuti, dan saling mempengaruhi dalam kebersaman
sosial. Fungsi sosial yang diemban tradisi lisan adalah memuliakan kehidupan,
dan menguatkan simpul-simpul kebersamaan dan persatuan. Fungsi tradisi lisan
dalam lingkungan sosial, dalam makalah ini hanya diuraikan tentang kearifan
sosial falsafah hidup etnik Muna, kearifan sosial lisan dalam ritual katoba, dan kearifan sosial lisan
beberapa nyanyian rakyat diungkapkan secara singkat pula. Untuk lebih jelasnya
akan diuraikan sebagai berikut. Kearifan
sosial lisan yang terdapat dalam falsafah hidup etnik Muna dapat difungsikan
untuk melestarikan lingkungan sosial, termasuk pula dapat dikontekstualkan
dalam melestarikan lingkungan alam. Falsafah hidup itu adalah pomoomologhoo
‘saling menyayangi dan memperingati’ pomamaasighoo
‘saling menyayangi dengan seikhlas-ikhlasnya’, yaitu budaya saling
menyayangi antara satu sama lain, menyayangi bukan saja menyayangi pada kerabat
dekat tetapi juga pada orang lain dan lingkungan sekitarnya (termasuk lingkungan
alam dan lingkungan sosial), popiapiara ‘saling
memelihara’, yaitu budaya saling memelihara satu dengan yang lain, termasuk
memelihara lingkungan alam dan lingkungan sosial, dan poangkaangkatau ‘saling mengikuti, seia-sekata’, yaitu budaya
saling mengikuti arahan atau perintah, termasuk dalam arahan/perintah untuk
tidak mengeksploitasi ataupun merusak lingkungan alam. Falsafah hidup
masyarakat etnik Muna yang tertuang dalam tradisi lisan di atas, jika dipahami
dan diselami lebih mendalam, maka harmonasasi
yang terbangun dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosial akan terjalin
dengan baik. Kearifan sosial lisan yang lain,
yakni berupa nasehat seorang anak untuk berperilaku kepada orang tua, orang
lain, hubungannya dengan sesama, juga terdapat dalam tradisi lisan etnik Muna.
Tradisi lisan itu, terdapat di dalam ritual katoba[6]
yang dikenal dengan kalimat tobat, yakni :
Amamu motehie folumo kabholosino Allah Taala ;
Inanmu motehie folumo kabholosino anabi Muhamadhi ; Isamu angkafie folumo
kabholosino malaekati ; Aimu asiane, piarae folumo kabholosino o muumini.
‘Bapakmu,
takutilah sebagai pengganti Allah Taala yang tidak tampak di mata ; Ibumu,
takutilah sebagai pengganti Nabi Muhammad yang tak tampak di mata ;
Kakakmu, ikutilah sebagai pengganti malaikat yang tak tampak di mata ; dan
adikmu, sayangilah, peliharalah, sebagai pengganti mukmin yang tak tamapak,
dialah mukminmu’ (Hadirman, 2009 : 83).
Jika
dicermati tradisi lisan di atas berisi ajaran katoba masyarakat etnik Muna
yang disampaikan oleh pemimpin ritual kepada anak yang ditobat agar senantiasa
menakuti, menghormati, dan menghargai ayah, ibu, kakak, dan adik. Nasehat
tersebut di atas, menjadi bekal bagi seorang anak yang ditobat untuk hidup dalam
masyarakat. Ajaran ini, diharapkan dapat mengantarkan seorang anak untuk
bersifat arif, bijaksana, dan memiliki moral dan etika yang baik dalam
hubungannya dengan orang tua, kakak, adik atau yang dituakan, yang lebih kakak
darinya, dan teman sebaya, atau yang lebih muda darinya.
Demikian
pula teks-teks kesenian rakyat merupakan satu khazanah kaya-raya yang di
dalamnya tersimpan rekaman-rekaman realitas kehidupan etnik Muna pada masa
lampau. Bagi masyarakat etnik Muna, seni kabhanti[7], modero[8],
kantola
[9], dan
gambusu[10]
dapat menjadi sarana untuk membangun kebersamaan, kekompakan, dan
menguatkan persatuan. Tema-tema, dan konten (isi) kesenian rakyat itu, dapat
dijadikan sebagai ruang untuk mengokohkan atau mensosialisasikan kebersamaan
sosial, termasuk sebagai media menyampaikan pesan-pesan untuk melestarikan
lingkungan alam. Kesenian rakyat itu sangat produktif pula untuk dikreasi
menjadi seni ekonomi kreatif, dengan cara mementaskan dan menghidupkannya
kembali dalam acara adat etnik Muna. Jika pada zaman dahulu kabhanti, modero, kantola, dan gambusu
memiliki lingkungan sebagai ruang hidupnya, yakni pada saat membuka lahan baru,
pada saat memanen ubi, dan pada saat acara perladangan lainnya. Namun saat ini,
perilaku budaya ini sudah jarang dipentaskan. Oleh karena itu, sudah perlu
kiranya tradisi ini disediakan/diciptakan ruang sebagai lingkungan hidupnya
dalam konteks sekarang. Tradisi lisan yang berwujud kabhanti, modero, kantola, dan gambusu
ini bermuatan pesan-pesan moral untuk membangun keselarasan secara sosial dan
ekologis ; bermuatan penanda kearifan lingkungan yang bersumber dari
penggalan kata, frase, dan wacana yang bermakna larangan berbohong, bermain
judi, minuman keras, atau menebang hutan sembarangan, dan sebagainya.
Pesan-pesan dalam seni kabhanti, modero,
kantola, dan gambusu berdampak
pada orang yang mendengarnya. Orang yang mendengarnya akan tercerahi (terajari)
ke arah pembentukan diri individu, diri sosial, dan diri religius yang arif dan
bijaksana saat berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam.
Salah
satu contoh kearifan sosial lisan yang dapat ditampilkan dalam makalah ini
adalah kabhanti yang mengandung makna
nasehat atau ajaran agama.
Mafusau sasau-sau
Pughuno tane tompano
Ane ihintu megau-gau
Dapobisara somotompano
Artinya:
Ubi kayu
berkayu-kayu
Pohonnya
tinggal ujungnya
Jika seandainya engkau berbohong atau
berdusta
Sudah terakhirnya kita bicara (Sudu, 2009)
Tradisi
lisan kabhanti di atas mengandung
makna nasihat atau ajaran agama. Dalam kabhanti
tersebut dikatakan bahwa jika seandainya kekasihnya (orang lain) itu akan
mendustainya atau membohonginya maka sudah yang terakhir kalinya ia berbicara
pada kekasihnya (orang lain) tersebut. Dusta atau berbicara bohong bukanlah merupakan perbuatan yang baik.
Jangankan membohongi sang kekasih (orang lain) yang berharap betul-betul kepada
kita, membohongi siapa saja dalam kehidupan ini merupakan perbuatan dosa. Oleh
karena itu, dalam kabhanti tersebut
seseorang mengatakan dengan tegas bahwa jika ia dibohongi maka sudah jelas yang
terakhir kalinya dia berbicara. Makna kabhanti
tersebut berisikan ajaran agama.
3. Kesimpulan
Tradisi
lisan etnik Muna yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan yang diulas dalam
makalah ini adalah mitos penciptaan dunia, sumpah serapah Paelangkuta, dan
sistem pengetahuan yang ada dalam (falia,
Sangia, dan kaindea), falsafah hidup, ritual, dan kesenian rakyat (kabhanti,
modero, kantola, dan gambusu), hanyalah sebagian kecil dari tradisi lisan etnik Muna.
Tradisi lisan ini perlu dihidupkan kembali untuk menjadi rujukan dalam
pelestarian lingkungan baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial. Fungsi sosial tradisi lisan mempedomani manusia agar menjadi
diri sosial yang arif dan bijaksana, sedangkan fungsi ekologis tradisi lisan
mempedomani manusia agar arif dalam hal berinteraksi dengan lingkungan alamiah.
Warisan leluhur yang terdapat dalam tradisi lisan
sebenarnya tidak ketinggalan jaman, dan masih relevan untuk saat ini. Tradisi lisan yang berfungsi untuk melestarikan, menjaga
kebersamaan, dan kesatuan sosial seperti yang digambarkan dalam makalah ini
hanyalah merupakan gambaran kecil kekayaan tradisi lisan. Bila ditelusuri lebih
jauh, tradisi lisan untuk kearifan sosio-ekologis tersebut lebih banyak lagi,
mengingat besarnya potensi keetnikan yang dimiliki bangsa ini. Dengan demikian,
bila dikaji lebih jauh dan diterapkan secara sungguh-sungguh, konsep-konsep dan
potensi tradisi lisan yang dimiliki pelbagai etnik yang ada di Indonesia turut
serta dalam penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Dikarenakan, selama ini,
kearifan sosio-ekologis berbasis kelokalan kerap diabaikan. Sebaliknya, konsep
luar yang lebih banyak bersifat abstrak sering dijadikan rujukan. Padahal,
konsep tersebut biasanya kurang mendapat tempat karena persoalan mind set, dan mencoloknya perbedaan
nilai dan kultur masyarakat. Karenanya, kearifan-kearifan sosio-ekologis
berbasis kelokalan harus segera dikedepankan dan ditransmisikan kepada generasi
muda sekarang dan mendatang.
Daftar Pustaka
Aris, La Ode. 2009.
“Kaago-Ago (Ritual Pencegahan Penyakit pada Orang Muna di Sulawesi Tenggara)”. Tesis. Jogjakarta :
Programa Studi Antropologi Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah
Mada.
Hadirman, 2009. “Fungsi
Sosial Budaya Bahasa Muna dalam Konteks Katoba”. Tesis. Denpasar : Program Studi
Linguistik Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Hoed, B.H. 2008. “Komunikasi Lisan Sebagai Dasar Tradisi
Lisan”. Dalam Pudentia (2008) (ed.) Metodologi
Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Niampe, La. 2008. “Tuturan tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna (Deskripsi Nilai dan Fungsi)”. Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Lisan VI,
Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Tanggal 1--3 Desember 2008.
Poerwanto,
Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan
dalam Perspektif Antoropolog. Cetakan Keempat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Radam,
Haloei N. 2001. Religi Orang Bukit. Jogjakarta:
Yayasan Semesta.
Sudu, La. 2009. “Kabhanti Wuna (Telaah Bentuk, Makna dan
Fungsi)”. Skripsi. Kendari :
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unhalu.
Told, R. dan Pudentia. 1995. “Tradisi Lisan Nusantara:
Oral Traditions from the Indonesian Achipelago, A Three Directional Approach”
dalam Warta ATL (edisi perdana):
I-01-Maret 1995, hlm. 12-16.
[1] Disampaikan dalam Seminar Internasional
Tradisi Lisan VII di Bangka Belitung, 19-22 Novermber 2010
[2] Dosen Kontrak Universitas Haluoleo dan
Mahasiswa S3 Kajian Budaya Angkatan 2010 Universitas Udayana
[3] Tomuna terdiri atas dua suku kata yaitu to berarti Orang Muna atau Wuna,
sehingga secara umum Tomuna adalah
‘orang Muna’.
[4] La Ode S. Djaruju adalah guru besar
Antropologi Universitas Haluoleo
[5] Kaago-ago adalah ritual yang dilakukan pada
saat pembukaan lahan baru yang berfungsi untuk mengindari gangguan yang
bersifat supranatural.
[6] Katoba adalah upacara tobat keagamaan pada
anak yang berumur baligh (6--12) tahun; diajarkan semua larangan dan perbuatan,
oleh seorang imam Islam yang disaksikan oleh keluarga dan undangan (Hadirman,
2009: 17; La Niampe, 2008)
[7] Kabhanti adalah yaitu sejenis kesenian rakyat
yang saling berbalas pantun antara laki-laki dan perempuan baik tua maupun
muda. Kabhati watulea adalah kabhanti
yang menggunakan irama Watule (Watulea
adalah nama sebuah kampung di Pulau Muna bagian Selatan). Kabhanti semacam ini
biasanya dinyanyikan pada waktu menebang hutan atau berkebun, pada saat
sendirian atau banyak orang.
[8] Modero adalah yaitu sejenis kesenian rakyat
yang saling berbalas pantun, namun pesertanya melantunkan dalam bentuk
nyantian. Jenis kesenian ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik tua
maupun muda, yang dilakukan dengan cara bergandengan tangan. Mereka membentuk
dua barisan, barisan laki-laki dan perempuan, yang membentuk setengah
lingkaran.
[9] Kantola adalah sejenis kesenian rakyat yanga saling berbalas pantun antara pria dan
wanita. Mereka berhadap-hadapan dengan jarak kurang lebih dua meter.
[10] Gambusu yaitu nyanyian tradisional yang
diiringi dengan irama gambus. Kesenian ini dinyanyikan saling berbalasan antara
laki-laki dan perempuan, sementara lagu yang dinyanyikan biasanya dapat
mewakili perasaan cinta, sindiran, berupa nasehat, pengalaman hidup, dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar