Selasa, 19 Februari 2013


Tradisi Lisan Etnik Muna, Sulawesi Tenggara dan Fungsinya dalam Pelestarian Lingkungan [1]

Hadirman [2]


1. Pendahuluan                                                                                                        
Etnik Muna, secara etimologis berasal dari kata ‘Wuna’. Wuna merupakan salah satu wilayah kepulauan yang terletak di ujung jazirah tenggara pulau Sulawesi. Masyarakat etnik Muna menyebut dirinya sebagai orang Tomuna[3] yang merupakan penduduk asli Kabupaten Muna. Adapun ciri-ciri orang Tomuna adalah sebagai berikut ; tinggi badan kurang lebih 160 cm, besar badan sedang, mata sedang (tidak besar tidak sipit), rambut berombak, warna kulit gelap. Menurut La Ode S. Djaruju[4], ‘jika dilihat dari ciri-ciri fisik yang dimilikinya, maka orang Muna cenderung mendekati rumpun orang Ambon (Maluku) atau orang Timor (Flores) atau percampuran antara keduanya’.                                                            
Setiap masyarakat etnik, termasuk masyarakat etnik Muna memiliki tradisi lisan dengan kandungan makna yang khas dan berkaitan dengan nilai dan fungsi pelestarian lingkungan (ekologi). Lingkungan dalam tulisan ini mengacu pada  lingkungan dalam ruang alamiah dan ruang sosial. Konstruksi tradisi lisan ini dikemas dalam simbol verbal berupa kata, nomina (abstrak dan konkret), frasa, ataupun wacana yang digunakan dalam ruang ekologi tertentu merupakan mozaik yang tak pernah kering untuk digali, ditafsir dan dimaknai secara kontekstual untuk melestarikan lingkungan. Pada sisi yang lain, tradisi lisan dapat pula dikatakan sebagai produk buah pikiran masyarakat etnik yang dapat difungsikan untuk memecahkan permasalahan lingkungan alamiah dan lingkungan sosial. Tradisi lisan juga dibangun oleh suasana tuturan dan energi bahasa, serta roh kekuatan cakap-cakap yang menyatu dalam bunyi-bunyi bahasa yan dituturkan. Roh tradisi lisan adalah memuliakan kehidupan, serta menguatkan simpul-simpul persatuan dan kebersamaan, termasuk memuliakan lingkungan sebagai jantung dan sumber kehidupan. Amanat tradisi lisan yang terungkap dalam lingkungan sosial misalnya, mampu mengkungkap tentang pentingnya kebersamaan, kekompakan, dan keharmonisan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara itu, dalam lingkungan alamiah tradisi lisan mampu menuntun manusia untuk bersikap dan bertingkah laku arif terhadap lingkungan alam.                                                                                                                 
Tradisi lisan yang dimaksudkan di sini adalah tradisi lisan yang dikemukakan oleh Hoed (2008: 184) yang menyatakan, berbagai pengetahuan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal seperti yang dikemukan oleh Roger Told dan Pudentia (1995: 2) yakni…”oral traditions do not only contain folktales, myth and legends (…), but store complete indigeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication”. Dalam konteks ini tradisi lisan dibatasi pada mitos, sumpah serapah, pengetahuan tradisional, falsafah hidup, ritual, dan nyanyian rakyat. Tradisi lisan etnik Muna ini sesungguhya masih merupakan “hutan perawan”, sangat kaya dan potensial untuk digali, ditafsir, dan dibedah dalam konteks sekarang untuk dijadikan modal sosio-ekologis terutama dalam pelestarian lingkungan.                                 
                                                                  
2. Tradisi Lisan dan Fungsi Pelestarian Lingkungan

2.1.1 Tradisi Lisan dan  Fungsi Ekologis                                                               
Tradisi lisan dan fungsi ekologis pada bagian ini hanya diuraikan tentang mitos penciptaan dunia, sumpah serapah Paelangkuta, dan sistem pengetahuan yang terdiri atas falia ‘pantang larang’, sangia ‘Sanghiyang’ dan kaindea ‘kawasan hutan’. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.
Terkait dengan mitos, masyarakat etnik Muna memiliki tradisi lisan berupa mitos penciptaan dunia. Dunia menurut kepercayaan etnik Muna diciptakan oleh Kawasono ompu  dari empat unsur, yaitu api, angin, air, dan tanah (Aris, 2009: 53-55). Kearifan ekologis terkandung pula di balik mitos penciptaan dunia, dalam perspektif masyarakat etnik Muna ini. Pada mulanya keempat unsur tadi bergejolak saling berbenturan satu dengan yang lain. Angin bertiup begitu kencangnya sehingga menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Begitupun juga dengan api yang menyala begitu membara sehingga membakar apa saja yang ada di sekitarnya, sementara air meluap, kian ke sana kian ke mari. Sehingga kondisi seperti ini, membuat suasana menjadi kacau balau.  Melihat suasana seperti itu, maka bergegaslah Kawasano ompo turun dari langit untuk mendatangi keempat unsur tersebut. Dalam pertemuan ini Kawasano ompu memberi perintah. Sementara perintah yang diberikan antara satu dengan yang lainnya berbeda. Begitupun juga dengan pertanyaan yang diajukan oleh Kawasano ompu kurang lebih sama.                                                                      Adapun proses tanya jawab antara Kawasano ompu dengan keempat unsur tersebut adalah sebagai berikut:                                                             
Pertama-tama yang dikunjungi adalah api dan berlangsung proses tanya jawab sebagai berikut:
Kakawasa nokoamba ingka be karatohakuini ifinofetingke koambaghono Kawasano ompu, oifi netikenda be nofeena, “asombatiko Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba, ”ere”.

Artinya, Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai api” mendengar suara dari Tuhan, api sangat kaget, sambil bertanya, ”saya mohon ampun kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa yang hendak engkau berikan kepadaku”. Tuhan berkata “berdiri”

Setelah api tenang dalam artian berdiri, maka Kawasano ompu menghadap angin, dan berlangsung proses tanya jawab sebagai berikut;
Kakawasa nokoambaingka be karatohakuini kaweanofetingke koambaghono Kawasano ompu, okawea netikenda be nofeena,asombatiko Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba ”longko”.

Artinya, Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai angin” mendengar suara dari  Tuhan, angin sangat kaget, sambil bertanya, ”saya mohon ampun kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa yang hendak engkau berikan kepadaku”. Tuhan berkata “jongkok”

Setelah angin tenang, dalam artian telah jongkok, maka Kawasa ompu mendatangi air, dan berlangsung tanya jawab sebagai berikut;
Kakawasa nokoambaingka be karatohakuini oenofetingke koambaghono Kawasano ompu, oe netikenda be nofeena, “asombatiko Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba, ”menua-nua”.

Artinya, Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai air” mendengar suara dari  Tuhan, air sangat kaget, sambil bertanya, ”saya mohon ampun kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa yang hendak engkau berikan kepadaku”. Tuhan berkata “sujud”.
Setelah semuanya tenang, yang terakhir didatangi oleh Kawasaompu adalah tanah, dan berlangsung tanya jawab sebagai berikut;
Kakawasa nokoambaingka be karatohakuini witenofetingke koambaghono Kawasano ompu, owite netikenda be nofeena, “asombatiko Kawasano ompu, ingka bhekaratoha, nando bara itu sonewaghoku wowoho sonekaradjaku”, Kawasano ompu nokoamba ”mengkora”.

Artinya, Tuhan berkata “saya menghadap kepadamu wahai tanah” mendengar suara dari  Tuhan, tanah sangat kaget, sambil bertanya, ”saya mohon ampun kepadamu wahai Tuhan, engkau menghadap kepadaku, tugas apa yang hendak engkau berikan kepadaku”.Tuhan berkata “duduk”

Setelah keempat unsur tadi berada pada posisinya masing-masing, maka terciptalah dunia beserta isinya. Begitupun juga dengan penciptaan manusia, masyarakat etnik Muna percaya bahwa mereka diciptakan dari keempat unsur tadi yaitu tanah, air, angin dan api. Mereka menganggap bahwa satu tubuh manusia sama dengan satu dunia, dengan asumsi bahwa dunia juga diciptakan oleh Kawasano ompu dari keempat unsur tadi.                                                                     
Jika dicermati mitos di atas, tampak bahwa masyarakat etnik Muna berpandangan bahwa merusak alam semesta sama saja merusak diri sendiri, menjaga alam semesta sama saja menjaga diri sendiri. Untuk itu, manusia dalam hidupnya harus menciptakan suasana yang harmonis dengan alam semesta sebagai ciptaan Kawasano ompu. Hal ini senada dengan Radam (2001: 167-168), manusia itu diciptakan dari unsur yang sama dengan alam semesta (api, angin, air dan tanah) dan berusaha hidup harmonis dengan alam tersebut.  Pola pikir mitologi seperti ini masih cukup kuat dalam masyarakat etnik Muna.                                        Ada juga tradisi lisan yang berkembang pada masyarakat etnik Muna menyebutkan bahwa kayu jati Muna berasal dari Jawa. Karena itu, kayu jati dalam bahasa Muna disebut kayu kulidawa (kayu Jawa). Benih jati tersebut dibawa Paelangkuta, ketika kapitalao ‘panglima perang’ itu pulang dari membantu rakyat Jepara berperang melawan Inggris. Dikisahkan ketika menanam benih jati itu pertama kali di sebuah kawasan yang kemudian disebut Napabalano, Paelangkuta mengucapkan semacam sumpah (dalam bahasa Muna) yang bunyinya:
"Aetisa kulidawa ini so-hintumu mieno Wuna, so-rayatino ne-wuna ini. Lahalahae sopokalambughono hasilini kulidawa ini suano so-faraluno rayatino wuna ini, naerimba maka nalompona panaeghawa kasalamati".
‘Saya tanam kulidawa ini untuk kalian orang Muna, untuk rakyat di Muna ini. Barang siapa yang tidak memanfaatkan kulidawa ini untuk kepentingan rakyat Muna, cepat atau lambat dia tidak akan selamat’.
Jika dicermati sumpah di atas, sungguh sangat berat karena berisi sumpah serapah ‘yang tidak memanfaatkan kayu jati untuk kepentingan rakyat, maka dia tidak akan selamat’. Barangkali sumpah Paelangkuta di atas dapat dikaji kembali, dan difungsikan untuk melestarikan hutan jati di Kabupaten Muna saat ini. Di era modern ini, perlombaan mengumpulkan materi dengan menghalalkan segala macam cara termasuk merambah hutan jati. Dengan memfungsikan sumpah Paelangkuta ini, maka hutan jati Muna akan aman dan tidak perlu dikawal dengan petugas kehutanan. Asalkan sumpah Paelangkuta yang bertuah itu, benar-benar difungsikan dan dipahami seluruh masyarakat etnik Muna.                                                          Dalam tradisi lisan etnik Muna pada bagian ini akan dijelaskan  tentang falia yakni pantang-larang (sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan), Sangia ‘Sanghiyang’, dan kaindea ‘kawasan hutan’. Hal ini akan diuraikan secara berturut-turut berikut ini. Falia yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, misalnya dikenal dengan tradisi lisan berbentuk wacana berikut ini.
Falia detando sau wemahono oe
‘Pantang menebang kayu dekat mata air’

Koise metando sau na itu, nokositani
‘Jangan menebang pohon itu, ada setannya’
Wacana lisan di atas, adalah berupa larangan untuk menebang kayu di dekat sumber air dan larangan untuk menebang kayu karena ada setannya. Kata sitani ‘setan’ adalah sesuatu yang ditakuti, sehingga wacana lisan di atas mengandung makna larangan menebang hutan karena ada penunggunya. Pemahaman masyarakat Muna tentang  falia adalah larangan untuk menggunakan sesuatu secara berlebih-lebihan, tetapi falia dapat berubah menjadi “bisa” apabila telah disyarati oleh pemuka atau orang tua kampung. Penebangan hutan bisa dilaksanakan apabila bermanfaat bagi kehidupan manusia (lihat sumpah isi sumpah Paelangkuta di atas), seperti penebangan hutan untuk pembukaan lahan baru atau lokasi untuk dijadikan pemukiman penduduk. Ketika berada di dalam hutan misalnya, lalu menebang kayu tanpa izin akan mendatangkan kemarahan roh, sehingga tidak jarang ditemui orang menderita penyakit akibat kemasukan oleh roh jahat atau makhluk halus. Tradisi lisan, berupa ungkapan yang lazim diucapkan untuk meminta izin atau bersalaman kepada penjaga benda-benda atau tempat yang dianggap sakral itu adalah tabea anabi sau ‘permisi nabi kayu’, tabea anabi wite ‘permisi nabi tanah’ kalau hendak mengambil kayu, atau hendak menggali tanah.                                                                           
Berkaitan dengan hutan lindung, diamanatkan dalam wacana lisan:
Bhake awatu o Sangia                                                                             
‘Beringin itu Sanghiyang’

Kidawa awatu o Sangia                                                                              
"Jati itu Sanghiyang’
Berdasarkan wacana lisan di atas, pelestarian hutan khususnya beberapa jenis pohon besar penjaga sumber air, yakni pohon bhake ‘beringin’ pohon kidawa ‘jati’ dilabeli dengan Sangia. Sangia dapat difungsikan untuk melindungi hutan karena dengan kata itu masyarakat etnik Muna akan merasa takut untuk menebang atau mengambil kayu di tempat itu karena memiliki penunggu. Ungkapan di atas menyiratkan makna bahwa Sangia ‘Sanghyang’ sebagai suatu yang ditakuti. Sangia  harus dilindungi dan dijaga kelestariannya sehingga hutan sebagai sumber air tetap lestari pula. Segala bentuk falia, senantiasa dihindari agar tidak berakibat pada kemurkaan alam. Jika sekiranya dalam membuka lahan baru yang disertai dengan penebangan hutan maka biasanya didahului dengan upacara kaago-ago[5]. Konsep-konsep falia, jika dianalisis secara ilmiah sesungguhnya sarat dengan makna. Tempat-tempat yang difaliakan seperti hutan sebagai sumber air, atau hutan sebagai sarang lebah penghasil madu. Mayarakat etnik Muna sadar bahwa lingkungan yang ditempatinya bukan hanya manusia yang menghuninya, tetapi ada juga berupa roh halus yang senantiasa di sekeliling manusia.                        
Perlu pula disampaikan bahwa tradisi lisan dalam pelestarian lingkungan terselubung mistik, berlaku pada masyarakat etnik Muna dan masyarakat etnik lainnya. Walaupun masyarakat etnik Muna beragama Islam, tetapi Islam yang dianut dan berkembang dalam masyarakat etnik Muna, tampaknya merupakan Islam sinkritis. Indikasinya adalah sering ditemukannya keyakinan lain yang bukan berasal dari agama Islam. Misalnya, mereka yakin akan adanya berbagai makhlus halus yang mendiami tempat-tempat tertentu seperti hutan, pohon besar, bhake ‘beringin’, batu-batu besar, gunung, dan laut. Berbagai makhlus halus tersebut dianggap sebagai penjaga atau penunggu tempat tersebut. Masyarakat etnik Muna yakin bahwa makhlus halus itu ada yang mempunyai sifat baik dan juga sifat jahat. Agar tidak mencelakakan manusia tempat-tempat tersebut diberikan sesajen. Selain itu, setiap ingin menggunakan atau beraktivitas di tempat itu, terlebih dahulu mereka meminta izin atau bersalaman kepada penunggu atau penjaganya.                                                                                                               Dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan hutan, masyarakat etnik Muna, mengenal pula kearifan hutan Kaindea ‘kawasan hutan’. Kaindea umumnya berada di dekat sumber air dan di sekitar kebun masyarakat. Pada umumnya penghulu kampung sangat mendukung adanya hutan Kaindea. Kaindea ini adalah sebagai hutan adat yang sengaja dibangun masyarakat selama ratusan tahun. Sistem kepemilikan dan pengelolaannya dilakukan oleh keluarga tertentu. Dalam pemanfaatannya tidak dapat dikonversi atau diambil kayu kecuali hasil hutan non-kayu dengan izin selektif pemiliknya. Dalam bahasa lokal tidak ditemukan arti istilah Kaindea, kecuali hanya merujuk pada hutan yang subur yang dikelilingi kebun dan di dekat sumber air. Posisi Kaindea berada di tengah atau dikelilingi kebun masyarakat, sehingga fungsi ekologis Kaindea memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam rangka kesuburan tanah, ketersediaan air dan penciptaan iklim mikro.  
Tradisi lisan masyarakat etnik Muna seperti diuraikan di atas, diharapkan akan menjadi penyanggah kultural dan dapat menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, yaitu menjamin pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya serta sistem penyanggah kehidupan. Hutan sebagai penyanggah kehidupan memiliki posisi strategis, baik terhadap flora, fauna, maupun terhadap masyarakat di sekitarnya, yang memiliki mata pencaharian pertanian tergantung terhadap air yang sangat ditentukan oleh lestarinya sumber air. Sebagai masyarakat agraris, masyarakat etnik Muna masih bergantung pada tanah, pemelihraan lingkungan hidup, baik hutan, sumber air, maupun lahan garapan untuk perladangan, bahkan juga lahan atau hutan lindung yang sakral ‘Sangia’, sesungguhnya telah menjadi amanat leluhur yang harus dipatuhi. Amanat leluhur terekam dan terungkap secara verbal dalam tradisi lisan, khususnya berkaitan dengan pemeliharaan, pemanfaatan, dan pelestarian lingkungan. Terkait dengan pelestarian terhadap lingkungan pada masa lalu seperti mitos penciptaan dunia, sumpah serapah, sistem pengetahuan (falia, Sangia, dan kaindea) telah diwariskan secara turun-temurun pada generasi penerusnya, gagasan pewarisan nilai-nilai dan aturan hidup itu dilakukan secara lisan. Hal ini sesuai dengan pandangan Poerwanto (2008: 50) mengatakan bahwa berbagai gagasan, termasuk gagasan untuk melestarikan lingkungan dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa, baik lisan maupun (tulisan). Terkait dengan sikap hidup dan pola-pola tindakan yang konstruktif dalam pelestarian lingkungan dapat dilihat dari pola-pola pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan lingkungan. Hal ini pernah ditegaskan oleh Poerwanto (2008: 51), bahwa berbagai cara hidup manusia, termasuk cara mengelola lingkungan, tercermin dalam pola-pola tindakan (action) dan tingkah laku (behavior) masyarakat. Tingkah laku masyarakat etnik Muna masa lalu kaitannya dengan pelestarian lingkungan dapat dilacak pula di dalam simbol-simbol tradisi lisan yang digunakan pada masa lampau.

2.2. Tradisi Lisan dan Lingkungan Sosial                                                
              Tradisi lisan berupa mitos, sumpah serapah, dan sistem pengetahuan untuk melestarikan lingkungan alam, secara panjang lebar telah diuraikan di atas. Namun, lingkungan alam dalam arti luas di dalamnya ada manusia dan lingkungan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial hidup bersama orang lain, saling menasehati, menyayangi, memelihara, mengikuti, dan saling mempengaruhi dalam kebersaman sosial. Fungsi sosial yang diemban tradisi lisan adalah memuliakan kehidupan, dan menguatkan simpul-simpul kebersamaan dan persatuan. Fungsi tradisi lisan dalam lingkungan sosial, dalam makalah ini hanya diuraikan tentang kearifan sosial falsafah hidup etnik Muna, kearifan sosial lisan dalam ritual katoba, dan kearifan sosial lisan beberapa nyanyian rakyat diungkapkan secara singkat pula. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.                                                                                                            Kearifan sosial lisan yang terdapat dalam falsafah hidup etnik Muna dapat difungsikan untuk melestarikan lingkungan sosial, termasuk pula dapat dikontekstualkan dalam melestarikan lingkungan alam. Falsafah hidup itu adalah  pomoomologhoo ‘saling menyayangi dan memperingati’ pomamaasighoo ‘saling menyayangi dengan seikhlas-ikhlasnya’, yaitu budaya saling menyayangi antara satu sama lain, menyayangi bukan saja menyayangi pada kerabat dekat tetapi juga pada orang lain dan lingkungan sekitarnya (termasuk lingkungan alam dan lingkungan sosial), popiapiara ‘saling memelihara’, yaitu budaya saling memelihara satu dengan yang lain, termasuk memelihara lingkungan alam dan lingkungan sosial, dan poangkaangkatau ‘saling mengikuti, seia-sekata’, yaitu budaya saling mengikuti arahan atau perintah, termasuk dalam arahan/perintah untuk tidak mengeksploitasi ataupun merusak lingkungan alam. Falsafah hidup masyarakat etnik Muna yang tertuang dalam tradisi lisan di atas, jika dipahami dan diselami lebih mendalam, maka  harmonasasi yang terbangun dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosial akan terjalin dengan baik.                                   Kearifan sosial lisan yang lain, yakni berupa nasehat seorang anak untuk berperilaku kepada orang tua, orang lain, hubungannya dengan sesama, juga terdapat dalam tradisi lisan etnik Muna. Tradisi lisan itu, terdapat di dalam ritual katoba[6] yang dikenal dengan kalimat tobat, yakni :                                         
Amamu motehie folumo kabholosino Allah Taala ; Inanmu motehie folumo kabholosino anabi Muhamadhi ; Isamu angkafie folumo kabholosino malaekati ; Aimu asiane, piarae folumo kabholosino o muumini.                    
 ‘Bapakmu, takutilah sebagai pengganti Allah Taala yang tidak tampak di mata ; Ibumu, takutilah sebagai pengganti Nabi Muhammad yang tak tampak di mata ; Kakakmu, ikutilah sebagai pengganti malaikat yang tak tampak di mata ; dan adikmu, sayangilah, peliharalah, sebagai pengganti mukmin yang tak tamapak, dialah mukminmu’ (Hadirman, 2009 : 83).
Jika dicermati tradisi lisan di atas berisi ajaran katoba  masyarakat etnik Muna yang disampaikan oleh pemimpin ritual kepada anak yang ditobat agar senantiasa menakuti, menghormati, dan menghargai ayah, ibu, kakak, dan adik. Nasehat tersebut di atas, menjadi bekal bagi seorang anak yang ditobat untuk hidup dalam masyarakat. Ajaran ini, diharapkan dapat mengantarkan seorang anak untuk bersifat arif, bijaksana, dan memiliki moral dan etika yang baik dalam hubungannya dengan orang tua, kakak, adik atau yang dituakan, yang lebih kakak darinya, dan teman sebaya, atau yang lebih muda darinya.
Demikian pula teks-teks kesenian rakyat merupakan satu khazanah kaya-raya yang di dalamnya tersimpan rekaman-rekaman realitas kehidupan etnik Muna pada masa lampau. Bagi masyarakat etnik Muna, seni kabhanti[7], modero[8],  kantola [9], dan gambusu[10] dapat menjadi sarana untuk membangun kebersamaan, kekompakan, dan menguatkan persatuan. Tema-tema, dan konten (isi) kesenian rakyat itu, dapat dijadikan sebagai ruang untuk mengokohkan atau mensosialisasikan kebersamaan sosial, termasuk sebagai media menyampaikan pesan-pesan untuk melestarikan lingkungan alam. Kesenian rakyat itu sangat produktif pula untuk dikreasi menjadi seni ekonomi kreatif, dengan cara mementaskan dan menghidupkannya kembali dalam acara adat etnik Muna. Jika pada zaman dahulu kabhanti, modero, kantola, dan gambusu memiliki lingkungan sebagai ruang hidupnya, yakni pada saat membuka lahan baru, pada saat memanen ubi, dan pada saat acara perladangan lainnya. Namun saat ini, perilaku budaya ini sudah jarang dipentaskan. Oleh karena itu, sudah perlu kiranya tradisi ini disediakan/diciptakan ruang sebagai lingkungan hidupnya dalam konteks sekarang. Tradisi lisan yang berwujud kabhanti, modero, kantola, dan gambusu ini bermuatan pesan-pesan moral untuk membangun keselarasan secara sosial dan ekologis ; bermuatan penanda kearifan lingkungan yang bersumber dari penggalan kata, frase, dan wacana yang bermakna larangan berbohong, bermain judi, minuman keras, atau menebang hutan sembarangan, dan sebagainya. Pesan-pesan dalam seni kabhanti, modero, kantola, dan gambusu berdampak pada orang yang mendengarnya. Orang yang mendengarnya akan tercerahi (terajari) ke arah pembentukan diri individu, diri sosial, dan diri religius yang arif dan bijaksana saat berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam.
            Salah satu contoh kearifan sosial lisan yang dapat ditampilkan dalam makalah ini adalah kabhanti yang mengandung makna nasehat atau ajaran agama.                   
      Mafusau sasau-sau                       
Pughuno tane tompano                
Ane ihintu megau-gau                                          
Dapobisara somotompano

Artinya:    
      Ubi kayu berkayu-kayu
Pohonnya tinggal ujungnya
      Jika seandainya engkau berbohong atau berdusta                                                       
      Sudah terakhirnya kita bicara (Sudu, 2009)

Tradisi lisan kabhanti di atas mengandung makna nasihat atau ajaran agama. Dalam kabhanti tersebut dikatakan bahwa jika seandainya kekasihnya (orang lain) itu akan mendustainya atau membohonginya maka sudah yang terakhir kalinya ia berbicara pada kekasihnya (orang lain) tersebut. Dusta atau berbicara bohong bukanlah merupakan perbuatan yang baik. Jangankan membohongi sang kekasih (orang lain) yang berharap betul-betul kepada kita, membohongi siapa saja dalam kehidupan ini merupakan perbuatan dosa. Oleh karena itu, dalam kabhanti tersebut seseorang mengatakan dengan tegas bahwa jika ia dibohongi maka sudah jelas yang terakhir kalinya dia berbicara. Makna kabhanti tersebut berisikan ajaran agama.

3. Kesimpulan
Tradisi lisan etnik Muna yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan yang diulas dalam makalah ini adalah mitos penciptaan dunia, sumpah serapah Paelangkuta, dan sistem pengetahuan yang ada dalam (falia, Sangia, dan kaindea), falsafah hidup, ritual, dan kesenian rakyat (kabhanti, modero, kantola, dan gambusu), hanyalah sebagian kecil dari tradisi lisan etnik Muna. Tradisi lisan ini perlu dihidupkan kembali untuk menjadi rujukan dalam pelestarian lingkungan baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial. Fungsi sosial tradisi lisan mempedomani manusia agar menjadi diri sosial yang arif dan bijaksana, sedangkan fungsi ekologis tradisi lisan mempedomani manusia agar arif dalam hal berinteraksi dengan lingkungan alamiah. 
Warisan leluhur yang terdapat dalam tradisi lisan sebenarnya tidak ketinggalan jaman, dan masih relevan untuk saat ini. Tradisi lisan yang berfungsi untuk melestarikan, menjaga kebersamaan, dan kesatuan sosial seperti yang digambarkan dalam makalah ini hanyalah merupakan gambaran kecil kekayaan tradisi lisan. Bila ditelusuri lebih jauh, tradisi lisan untuk kearifan sosio-ekologis tersebut lebih banyak lagi, mengingat besarnya potensi keetnikan yang dimiliki bangsa ini. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh dan diterapkan secara sungguh-sungguh, konsep-konsep dan potensi tradisi lisan yang dimiliki pelbagai etnik yang ada di Indonesia turut serta dalam penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Dikarenakan, selama ini, kearifan sosio-ekologis berbasis kelokalan kerap diabaikan. Sebaliknya, konsep luar yang lebih banyak bersifat abstrak sering dijadikan rujukan. Padahal, konsep tersebut biasanya kurang mendapat tempat karena persoalan mind set, dan mencoloknya perbedaan nilai dan kultur masyarakat. Karenanya, kearifan-kearifan sosio-ekologis berbasis kelokalan harus segera dikedepankan dan ditransmisikan kepada generasi muda sekarang dan mendatang.      

Daftar Pustaka
Aris, La Ode. 2009. “Kaago-Ago (Ritual Pencegahan Penyakit pada Orang Muna di Sulawesi Tenggara). Tesis. Jogjakarta : Programa Studi Antropologi Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Hadirman, 2009. “Fungsi Sosial Budaya Bahasa Muna dalam Konteks Katoba. Tesis. Denpasar : Program Studi Linguistik Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Hoed, B.H. 2008. “Komunikasi Lisan Sebagai Dasar Tradisi Lisan”. Dalam Pudentia (2008) (ed.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Niampe, La. 2008. “Tuturan tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna (Deskripsi Nilai dan Fungsi). Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Lisan VI, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Tanggal 1--3 Desember 2008.

Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antoropolog. Cetakan Keempat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Radam, Haloei N. 2001. Religi Orang Bukit. Jogjakarta: Yayasan Semesta.

Sudu, La. 2009. “Kabhanti Wuna (Telaah Bentuk, Makna dan Fungsi)”. Skripsi. Kendari : Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unhalu.

Told, R. dan Pudentia. 1995. “Tradisi Lisan Nusantara: Oral Traditions from the Indonesian Achipelago, A Three Directional Approach” dalam Warta ATL (edisi perdana): I-01-Maret 1995, hlm. 12-16.



[1] Disampaikan dalam Seminar Internasional Tradisi Lisan VII di Bangka Belitung, 19-22 Novermber 2010
[2] Dosen Kontrak Universitas Haluoleo dan Mahasiswa S3 Kajian Budaya Angkatan 2010 Universitas Udayana
[3] Tomuna terdiri atas dua suku kata yaitu to berarti Orang Muna atau Wuna, sehingga secara umum Tomuna adalah ‘orang Muna’.
[4] La Ode S. Djaruju adalah guru besar Antropologi Universitas Haluoleo
[5] Kaago-ago adalah ritual yang dilakukan pada saat pembukaan lahan baru yang berfungsi untuk mengindari gangguan yang bersifat supranatural.
[6] Katoba adalah upacara tobat keagamaan pada anak yang berumur baligh (6--12) tahun; diajarkan semua larangan dan perbuatan, oleh seorang imam Islam yang disaksikan oleh keluarga dan undangan (Hadirman, 2009: 17; La Niampe, 2008)
[7] Kabhanti adalah yaitu sejenis kesenian rakyat yang saling berbalas pantun antara laki-laki dan perempuan baik tua maupun muda. Kabhati watulea adalah kabhanti yang menggunakan irama Watule (Watulea adalah nama sebuah kampung di Pulau Muna bagian Selatan). Kabhanti semacam ini biasanya dinyanyikan pada waktu menebang hutan atau berkebun, pada saat sendirian atau banyak orang.
[8] Modero adalah yaitu sejenis kesenian rakyat yang saling berbalas pantun, namun pesertanya melantunkan dalam bentuk nyantian. Jenis kesenian ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik tua maupun muda, yang dilakukan dengan cara bergandengan tangan. Mereka membentuk dua barisan, barisan laki-laki dan perempuan, yang membentuk setengah lingkaran.
[9] Kantola adalah sejenis kesenian rakyat  yanga saling berbalas pantun antara pria dan wanita. Mereka berhadap-hadapan dengan jarak kurang lebih dua meter. 
[10] Gambusu yaitu nyanyian tradisional yang diiringi dengan irama gambus. Kesenian ini dinyanyikan saling berbalasan antara laki-laki dan perempuan, sementara lagu yang dinyanyikan biasanya dapat mewakili perasaan cinta, sindiran, berupa nasehat, pengalaman hidup, dan lain-lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar