Mengkreasi Produk Kajian Ekolinguistik dan Eko-Botani
Menuju ke Arah Penggalian Pengobatan Tradisional
dalam Naskah Kuno pada Masyarakat Etnik Muna
Oleh:
Hadirman
1.
Pendahuluan
Etnik Muna, secara etimologis berasal dari kata ‘Wuna’. Wuna merupakan salah satu wilayah
kepulauan yang terletak di ujung jazirah tenggara pulau Sulawesi. Masyarakat
etnik Muna menyebut dirinya sebagai orang Tomuna[1]
yang merupakan penduduk asli Kabupaten Muna. Adapun ciri-ciri orang Tomuna adalah sebagai berikut; tinggi
badan kurang lebih 160 cm, besar badan sedang, mata sedang (tidak besar tidak
sipit), rambut berombak, warna kulit gelap. Menurut La Ode S. Djaruju[2],
‘jika dilihat dari ciri-ciri fisik yang dimilikinya, maka orang Muna cenderung
mendekati rumpun orang Ambon (Maluku) atau orang Timor (Flores) atau
percampuran antara keduanya’.
Terminologi pernaskahan (dalam hal ini naskah-naskah kuno) sebagai
konstruksi sumber ilmu pengetahuan dan sebagai sumber informasi tentang pengobatan
tradisional, dan jenis-jenis tanaman merupakan pusat ingatan kolektif suatu
komunitas. Perlu diungkap di sini bahwa kekuatan nilai-nilai yang terdapat di
dalam naskah-naskah kuno sarat dengan nilai-nilai yang potensial untuk dikreasi
menjadi kajian yang memberikan pencerahan kepada masyarakat lebih luas. Pernaskahan terkait pula dengan penanda dan informasi masa lalu,
memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Paradigma pernaskahan jika
diartikulasi dalam diskursus dunia klinis, tentunya akan menjadi suatu informasi
baru dalam ranah keilmuan, karena memang di dalam naskah-naskah kuno informasi
tentang dunia kesehatan, nama-nama tanaman obat, dan cara pengobatannya, termasuk
konsepsi tentang pengobatan tradisional yang ada dalam kognisi masyarakat Muna
pada masa lalu, akan terekam secara verbal di dalam naskah-naskah kuno yang ada
pada saat ini. Hanya saja, untuk mendapatkan naskah-naskah kuno dewasa ini,
diperlukan kesungguhan pada peneliti naskah dalam mengungkap nilai-nilai cara
pengobatan yang ada di dalamnya.
Dalam
konteks perenungan ini, dinamika dan kompleksitas kajian ekolinguistik,
ekobotani, dan naskah-nasakah kuno, dipersoalkan dan dikaji dalam perspektif kajian
interdisipliner. Kajian dan renungan kritis tentang ketiga aspek ini diupayakan
untuk mencoba memetakan kenyataan hidup kajian ekolinguistik, ekobotani dan
pernaskahan. Perlu disadari dan
direnungkan secara terus-menerus pula, bahwa “kajian ekolinguistik dan
ekobotani” dapat membangun imajinasi, dan kesadaran untuk menjadi manusia yang
bermartabat dan berkeadaban dalam dimensi keilmuan, termasuk dalam dunia
pengobatan tradisional. Akhir-akhir ini,
adanya malpraktik, peracikan obat yang tidak taat asas, semakin memberi ruang
pada kajian ekolinguistik, ekobotani, dan naskah yang mana di dalamnya
tersimpan kearifan pengobatan tradisional, dan jenis-jenis tanaman obat suatu
komunitas, termasuk etnik Muna. Secara
kreatif, naskah-naskah kuno memang merekam informasi dan merefleksikan
kenyataan yang ada di masyarakat dan berisi nilai-nilai yang bisa dikreasi
menjadi sesuatu yang bernilai dalam dunia medis tradisional. Dalam konteks
perbincangan ini, lingkup bahasan dibatasi. Selain pemetaan sekilas tentang
potensi naskah-naskah kuno, pembedahan kreasi produk kajian ekolinguistik dan
ekobotani menuju ke arah penggalian pengobatan tradisional, termasuk
jenis-jenis tanaman obat dalam naskah-naskah kuno sangat diperlukan. Kondisi naskah-naskah
kuno itu memang menyatu dengan masyarakat pemiliknya. Betapa sesungguhnya
kekuatan dan nafas naskah-naskah kuno direpresentasikan oleh peran-peran
bermakna dan implementasi nilai naskah-naskah kuno tersebut. Inilah
sesungguhnya simpul kusut yang menjadi fokus perhatian dan pokok persoalan.
Tanpa mengganggu pertumbuhan kajian naskah-naskah kuno selama ini, terutama
demi membangun kesatuan dan keutuhan bidang kajian yang multidisiplin, multietnik,
dan multikultur, kuat-lemahnya nafas hidup dan peran naskah-naskah kuno,
menarik, bahkan mendesak untuk dibedah secara mendalam. Pembedahan dimaksudkan
untuk menjelaskan dan menemukenali potensi dan peran produk kajian
ekolinguistik dan ekobotani dalam memperkaya kajian naskah-naskah kuno pada
masyarakat etnik Muna.
Mengkreasi produk kajian
ekolinguistik dan ekobotani yang dimanfaatkan dalam kerangka pengkajian
naskah-naskah kuno di berbagai kepentingan dan peruntukan, merupakan obsesi
akademis dan solusi pragmatis yang perlu dilakukan. Itulah titik mula dan sasaran
akhir telaahan ringan ini. Selanjutnya langkah-langkah strategis unggulan dalam
penggalian dalam konteks naskah-naskah kuno atau sebaliknya “kajian
ekolinguistik dan ekobotani berbasis naskah-naskah kuno”, dapat dilakukan dan
diperbincangkan secara sistematis dan berkesinambungan. Di atas fakta tentang
lemahnya, peran naskah-naskah kuno dalam dunia medis pada bangsa ini, rekomendasi
mengkreasi produk kajian ekolinguistik dan ekobotani menuju ke arah penggalian pengobatan
tradisional, termasuk temuan nama-nama tanaman obat dalam naskah-naskah kuno
menjadi keniscayaan dalam kerangka kepedulian, pengembangan, dan penerapan kajian
naskah-naskah kuno dalam dunia medis.
2. Refleksi Ringan
atas Kajian Ekolinguistik—Ekobotani dan Tanaman Obat yang Terkandung dalam
Naskah-Naskah Kuno pada Masyarakat Etnik Muna
Kajian ekolinguistik,
dan ekobotani dalam kajiannya memfokuskan diri pada penemuan leksikon-leksikon
tua yang terekam secara verbal dalam kognisi masyarakat dan dalam naskah-naskah
kuno. Perlu dikemukakan di awal tulisan ini bahwa berdasarkan observasi di
lapangan dan wawancara mendalam dengan beberapa ahli budaya Muna bahwa masyarakat
etnik Muna sampai saat ini belum ditemukan naskah tertulis yang berisi naskah-naskah
dalam dunia pengobatan. Pengkajian tentang pengobatan
tradisional dan tanaman-tanaman obat pada masyarakat etnik Muna, dengan
memanfaatkan kajian ekolinguistik dan ekobotani, informasi tentang dunia
pengobatan pada masyarakat Muna bisa “diawetkan” terutama dengan menghimpun
leksikon, nomina, verbal, klausa, dan wacana, yang kerapkali digunakan oleh
masyarakat etnik Muna. Dengan “pengawetan” kajian tentang jenis-jenis tanaman
obat, cara pengobatan, dan konsepsi sehat pada masyarakat etnik Muna dari
kajian bidang ilmu di atas, menjadi suatu keniscayaan pada kajian naskah kuno
masa depan hasil kajian itu akan dapat dimanfaatkan untuk mengungkap lebih
cepat, akurat, dan secara mendalam kajian naskah-naskah kuno pada masyarakat
etnik Muna.
Untuk memahami pentingnya kajian
ekolinguistik dan ekobotani dalam penggalian pengobatan tradisional, termasuk
identifikasi tanaman obat dalam naskah-naskah kuno pada masyarakat etnik Muna,
maka kita harus mengetahui dulu pengertian ekolinguistik, ekobotani, naskah
kuno, dan etnik Muna. Ekolinguistik
merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari hubungan ekosistem dan
linguistik. Cabang linguistik ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam
tulisannya yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen
mendefinisikan ekolinguistik “as the
study of interactions between any given language and its environment”
(ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antarbahasa
yang ada dengan lingkungannya.” Ekolinguistik menjadi paradigma baru dalam
kajian bahasa yang tak hanya melibatkan konteks sosial namun juga konteks
ekologis. Ada empat istilah yang merujuk pada kajian ekolinguistik, yaitu linguistic
ecology, ecological linguistics, the ecology of language/language ecology,
dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009:5). Sementara itu, dalam bahasa
Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi
bahasa/bahasa ekologi, dan ekolinguistik (al-Gayoni, 2010:25). Dalam
bahasa lain, dikenal pula istilah Ecologie des langues/Ecologie du langage,
Linguistique ecologique, Ecologie linguistique dan Ecolinguistique
(Perancis), Okologie der Sprache/sprachologie, Okologische Linguistik,
Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman), serta Ecologia
des las lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol)
(Lechevrel, 2009:5 dalam al-Gayoni, 2010:26). Haugen lebih memilih istilah
ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian
dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya,
yang mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan pelbagai jenis ilmu
sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugen dalam Fill &
Mühlhäusler, 2001:57). Kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang
merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang
dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik).
Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan
pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multi bahasa inilah yang
mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi
sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan
bahasanya (al-Gayoni, 2010:31).
Sapir
dalam Fill dan Muhlhausler (ed) (2001:14), membagi lingkungan ke dalam tiga
bentuk, pertama, lingkungan fisik (ragawi) yang mencakupi karakter geografis
seperti topografi negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi maupun
pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hutan). Kedua, lingkungan ekonomis
(kebutuhan dasar manusia) yang terdiri atas flora, fauna, dan sumber mineral
yang ada pada daerah tersebut. Ketiga, lingkungan sosial yang melingkupi
pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan
pikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang lebih penting dari kekuatan
sosial tersebut adalah agama, standar, etika, bentuk organisasi politik, dan
seni. Dari ketiganya, lingkungan fisik dan lingkungan sosial sangat memengaruhi
realitas keberadaan bahasa. Kajian
ekolinguistik merupakan kajian kebahasaan, yaitu bahasa yang hidup karena
digunakan, lisan ataupun tulisan sebagai fungsi sosial yang diemban oleh
bahasa. Dimensi fungsi sosio-ekologis bahasa dalam perspektif ekolinguistik,
bahasa tidak lagi diposisikan sebagai fakta dalam kajian linguistik formal, melainkan
bahasa dalam naskah-naskah kuno pun dipandang sebagai fakta kebudayaan yang
sarat makna.
Konsep
sosio-ekologis masyarakat etnik Muna bisa saja terekam dalam naskah-naskah kuno
yang dimiliki masyarakat ini dengan berbagai bentuk, isi, dan fungsinya
terhadap pemeliharaan, dan kelangsungan lingkungan. Biasanya pencitraan
(gambaran) tersebut tergambar dengan jelas dalam perbendaharaan kosa kata yang
ada dalam teks naskah kuno tersebut. Kosa kata tersebut mengandung berbagai
berbagai konsep, muatan, dan fungsi terkait dengan pemeliharaan dan
penyelamatan ekosistem.
Botani
adalah sebagai ilmu biologi yang mempelajari seluk neluk tumbuhan dan
kehidupannya. Ekologi adalah cabang biologi yang mempelajari seluk-beluk
makhluk hidup dengan lingkungan tempat tinggalnya (habitatnya). Terkait dengan
kajian eko-botani, Lombard
(1981:263), meskipun jenis-jenis pohon telah didaftarkan oleh para ahli
tumbuhan dan penggunaannya oleh para eko-botanis, masih sedikit yang kita
ketahui tentang sejarah hutan sendiri, dan terutama tentang tahap-tahap
kemerosotannya. Naskah kuno adalah
dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih
mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak.
Naskah kuno (manuskrip) adalah dokumen dari
berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih mengkhususkan
kepada bentuk yang asli sebelum dicetak. Kata tersebut juga bisa berarti
karangan,surat, dan yang masih ditulis dengan tangan Berbicara tentang naskah
kuno berati berbicara mengenai informasi, karena naskah kuno memiliki nilai
informasi yang tentu sangat berharga baik ditinjau dari sejarah naskah itu
sendiri maupun informasi yang tertulis di naskah tersebut.
Kelompok etnik dikenal sebagai
suatu populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2)
mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam
suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri;
dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Narrol dalam Laliweri,
1983:267). Koentjaraningrat (1990:264) mengartikan suku bangsa sebagai suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan kebudayaan,
yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Kesatuan kebudayaan dan bahasa
dalam suatu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi
berdasarkan konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok masyarakat
tercermin, antara lain dengan ragam bahasa yang mereka gunakan dalam konteks
sosial dan konteks budaya. Bart (1998) (dalam Suputra, 2006:70) mendefinisikan suku
bangsa atau etnik sebagai kelompok manusia yang memiliki ciri dan kebersamaan
secara intern dan perbedaan secara eksternal dengan kelompok lainnya, tidak
saja karena ia memiliki nilai budaya, tetapi juga bahasa yang khas menjadi
identitas kelompoknya. Etnik melekat pada kelas, gender, usia, wilayah, dan
agama (Stanfield II, 1994:175), juga pada sumber daya (ekonomi) yang tersedia.
Abdullah (2010:86) menyatakan etnik selain merupakan konstruksi biologis juga
merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mendapatkan artinya dalam
serangkaian interaksi sosial budaya. Konsep etnik dalam penelitian
ini mengacu pada suku bangsa, kelompok etnik atau suatu populasi yang memiliki
suatu ruang atau tanah leluhur guna menumbuhkembangkan identitasnya yang
dicirikan berdasarkan wujud kebudayaan dan corak bahasa yang digunakannya dalam
kapasitasnya sebagai unsur budaya, indeks budaya, dan simbol budaya dalam
berinteraksi dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial.
3. Hasil Kreasi Produk Kajian
Ekolinguistik dan Ekobotani
Forde (1963) dalam (Suparlan, 1981:237) mengatakan bahwa
hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh
pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia. Tax (1953) dalam (Suparlan,
1981:237-238), dengan menggunakan kebudayaan inilah manusia mengadaptasi dengan
lingkungannya dan dalam proses adaptasi ini manusia mendaya-gunakan
lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya. Demikian
pula, kemampuan kritis dan kreatif untuk memahami kajian naskah-naskah kuno
melahirkan tafsir baru dalam pikiran dan ranah keilmuah pernaskahan. Keringnya
kajian pernaskahan dalam memetakan kearifan bahasa yang terkandung di dalamnya,
terutama dalam upaya menemukenali kearifan pengobatan, tanaman obat dan
sebagainya harus mampu dimaknai kembali secara praksis dalam kaca mata kajian multidisipliner.
Penelusuran naskah-naskah dalam dunia pengobatan tradisional, para peneliti
naskah harus membaca ulang konten temuan dalam naskah, serta menemukan celah
untuk bersanding dengan kajian disiplin ilmu lain, semisal kajian ekolinguistik
dan ekobotani.
Dalam konteks pemikiran
dekonstruktif, kajian untuk menemukan pengobatan tradisional, termasuk
jenis-jenis tanaman obat dalam naskah kuno ternyata dapat pula didekati dengan menggunakan
kajian disiplin lain, semisal kajian ekolinguistik dan ekobotani. Kedua kajian
ini digunakan untuk memasuki dan membedah pengetahuan tentang pengobatan
tradisional dan jenis-jenis tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat etnik
Muna. Kajian ekolinguistik dan ekobotani
dapat dikatakan sebagai sebuah resep. Resep-resep yang ada di dalam kajian
ekolinguistik adalah teridentifikasinya sejumlah leksikon jenis-jenis tanaman
obat yang potensial digunakan sebagai resep untuk pengobatan pada masyarakat
etnik Muna. Demikian pula halnya kajian ekobotani, akan dapat ditemukan
beberapa nama pohon-pohon lokal yang pada masa dulu, atau mungkin di dalam
naskah kuno pada masyarakat Muna terdapat leksikon yang menyebutkan tentang hal
itu. Resep-resep yang ada dalam produk kajian ekolinguistik dan ekobotani
terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyelidiki,
menyeleksi nama-nama tumbuhan atau pohon yang berfungsi sebagai obat pada
masyarakat etnik Muna. Lewat kreasi kajian ekolinguistik dan ekobotani ini,
setelah diseleksi itu, secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa dalam
bentuk daftar leksikon yang didalami maknanya berdasarkan alam pikiran
masyarakat pendukungnya, sehingga esensi makna yang terdapat dalam naskah kuno
semakin terungkap dengan menyandingkan model kajian ini.
Awal
kelahirannya kajian ekolinguistik adalah melihat tautan antara bahasa dan
lingkungan. Pemikiran kritis ini, mengindikasikan bahwa masih terdapat ruang
kosong untuk melihat kajian naskah-naskah kuno ke arah multiperspektif dan kajian
interdisipliner untuk memperkokoh dan memperluas perbincangan tentang kajian
naskah-naskah kuno. Penggalian secara kritis khazanah naskah-naskah kuno di
nusantara, perlu mendapat sentuhan agar dimensi kajian tanaman-tanaman obat
yang terkandung di dalamnya dapat diungkap lebih, berupa kreasi kultural.
Kemasan kultural dengan frame atau kemasan yang mampu memberi warna baru dalam
kajian naska-naskah kuno di Indonesia, meskipun tanpa harus tercerabut dari
akar naskah aslinya. Naskah-naskah kuno yang di dalamnya terkandung berbagai
jenis nama-nama tanaman obat merupakan salah satu produk naskah yang berpotensi
dikreasi penggalianya dan pemanfaatannya untuk kepetingan masyarakat secara
luas. Penggalian jenis-jenis tanaman obat
dengan mengkreasi produk kajian ekolinguistik dan ekobotani tanpa harus
mengambil mentah-mentah model, pola, dan bentuk temuan dari kajian keduanya.
Pembedahan kajian naskah-naskah kuno dengan ekolinguistik dan ekobotani akan
mampu menjadi titik awal dan mencerahkan dalam wahana keilmuan pernaskahan,
terutama berkaitan dengan naskah-naskah kuno.
Perlunya penggalian jenis-jenis
tanaman obat tradisional, dan cara-cara pemanfaatannya bagi kehidupan manusia
perlu mendapat perhatian serius, di samping karena tanaman langka terancam
punah, juga karena kecilnya perhatian terhadap uji klinis tanaman, khususnya
tanaman obat, seperti yang diungkapkan TRUBUS Infokit Herbal Indonesia
Berkasiat dalam Vol. 8 dikatakan bahwa tanaman ungulan nasional yang telah diuji
klinis baru 9, yaitu salam, sambiloto, kunyit, jaher merah, jati belanda,
temulawak, jambu biji, cabai jawa, dan mengkudu[3]. Bukti kecilnya perhatian
terhadap tanaman obat, menurut Hariana, di Indonesia dikenal lebih dari 20.000
jenis tumbuhan obat. Namun, baru 1.000 jenis saja yang sudah didata, dan baru
sekitar 300 jenis yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional[4]. Hal ini menunjukkan
betapa kecilnya perhatian maupun penggunaan tanaman obat, termasuk pada
masyarakat etnik Muna dewasa ini. Kreasi produk kajian ekolinguistik
dan ekobotani sebagai langkah awal menuju pemahaman naskah-naskah kuno
diharapkan turut serta mendorong berbagai kajian atas naskah-naskah kuno yang
dapat memberikan kontribusi yang bermakna terhadap kajian linguistik terapan,
naskah-naskah kuno itu sendiri dan pengetahuan keilmuan masyarakat dalam
konteks kekinian. Berdasarkan temuan di lapangan, berikut ini merupakan hasil
identifikasi nama-nama tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, cara
penggunaannya, dan fungsinya dalam dunia klinis pada masyarakat etnik Muna. Leksikon
tanaman obat pada masyarakat etnik Muna, misalnya bea yang sering dimanfaatkan untuk obat batuk. Keanekaragaman jenis
tanaman pada masyarakat etnik Muna ini belum memiliki data base secara
ekobotani. Kajian ekobotani dalam makalah ini diarahkan pada pendatabasean
nama-nama tubuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat pada masyarakat etnik
Muna.
Dari hasil wawancara dengan tokoh adat
masyarakat Muna diketahui bahwa dalam mengobati suatu penyakit, masyarakat Muna
tidak hanya mengobati penyakit-penyakit yang umum dan ringan saja seperti
kudis, bisul, kurap, gatal, tetapi juga mampu melakukan pengobatan penyakit
yang cukup berat seperti darah tinggi, malaria, dan batu ginjal. Pengobatan terhadap
penyakit ini dilakukan masyarakat setempat karena terdesak oleh kurang
tersedianya fasilitas kesehatan dan jarak tempuh yang cukup jauh. Untuk
pengobatan darah tinggi masyarakat Muna menggunakan rebusan ramuan yang terdiri
dari kulit batang niiwe dan akar dana
(alang-alang) atau menggunakan sari daun patiwala.
Selain sebagai obat darah tinggi daun patiwala
juga digunakan untuk pengobatan luka dan panas dalam. Di
samping pemanfaatan dari beberapa jenis tumbuhan yang merupakan informasi baru,
beberapa jenis tumbuhan obat lainnya seperti kilangkilalai, tolihe, towulambe, lansale, dan kafofo mempunyai
keunikan dalam cara pengambilan, penggunaan ataupun khasiatnya. Penggunaan kilangkilalai dalam pengobatan
tradisional merupakan informasi baru salah satu tumbuhan obat di Indonesia.
Penduduk masyarakat etnik Muna memanfaatkan daunnya yang dipanaskan, kemudian
diremas-remas dan airnya diteteskan atau
dioleskan pada bagian yang sakit sebagai obat luka. Menurut masyarakat
khasiatnya sebagai obat luka paling mujarab jika dibandingkan dengan tumbuhan
obat luka lainnya.
Tumbuhan yang ditemukan di lingkungan pantai
di Muna adalah tolihe. Daunnya dimanfaatkan oleh penduduk lokal sebagai obat
muntaber. Pengambilan daun untuk pengobatan cukup unik yaitu diambil sebelum
matahari terbit dan berjumlah ganjil dengan harapan bahwa daun tersebut masih
segar. Salah satu dari daun tersebut dianggap sebagai pelawan terhadap penyakit
penderita. Dalam upaya pencegahan meluasnya penyakit tersebut, maka keluarga
penderita memberikan air rebusan daun tolihe
kepada anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya. Pemanfaatan lain tolihe, antara lain kulit kayunya
digunakan sebagai campuran dalam ramuan perawatan pasca persalinan. Towulambe merupakan salah satu jenis
rerumputan, perawakannya menyerupai tanaman tebu. Sari batang mudanya digunakan
sebagai obat batuk. Secara umum jenis tumbuhan ini ditanam untuk dimanfaatkan
sebagai pakan ternak, pencegah erosi pada lingkungan tanah berpasir, tanaman
hias, dan bahan baku bubur kertas (Manidool, 1992). Pada masyarakat etnik Muna
jenis tanaman ini banyak tumbuh di lingkungan sekitar kebun-kebun penduduk. Lansale
merupakan semak tahunan beraromatik, tumbuh meliar di tepi jalan, kebun
atau semak belukar. Masyarakat etnik Muna memanfaatkan tumbuhan ini sebagai
obat pilek dengan cara menghirup aroma buahnya.
Kafofo ditemukan tumbuh meliar di lingkungan
rawa-rawa atau di lingkungan muara sungai.
Persebaran tanaman ini di
Indonesia adalah di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi bagian barat.
Sebarannya sampai di Sulawesi Tenggara diduga karena bijinya terbawa arus air
laut. Penduduk masyarakat etnik Muna memanfaatkan jenis ini sebagai obat luka,
dengan mengiris halus daunnya, kemudian direndam di dalam minyak dan dioleskan
pada bagian yang sakit.
Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional
oleh masyarakat etnik Muna dapat dalam bentuk tunggal atau dicampur dengan
jenis lainnya (ramuan). Penggunaannya secara tunggal umumnya untuk mengatasi
penyakit yang bersifat ringan, misalnya bengkak atau memar dapat menggunakan
daun kadeu-deu yang dipanggang,
kemudian diremas-remas dan airnya dioleskan pada bagian yang sakit; getah kapati-pati yang diteteskan pada bagian
yang sakit digunakan untuk mempercepat pecahnya bisul dan air rebusan batang katimboka diminum sebagai obat batu
ginjal.
Penggunaan
tumbuhan obat dalam bentuk ramuan umumnya untuk penyakit darah tinggi, berak
darah, panas dalam, dan perawatan pasca persalinan. Ramuan untuk pengobatan
penyakit darah tinggi terdiri dari
pucuk daun nii dan akar dana; ramuan untuk penyakit berak darah
menggunakan daun kosambi dan buamalaka; sedangkan untuk penyakit
panas dalam menggunakan ramuan daun kamena-mena dan ombu.
Dari hasil
kajian ekolinguistik dan ekobotani pada masyarakat etnik Muna ditemukan
jenis-jenis tumbuhan yang kerapkali digunakan untuk perawatan pasca persalinan
sangat sedikit. Sedikitnya jenis tumbuhan yang digunakan masyarakat lokal pada
masyarakat etnik Muna kemungkinan disebabkan karena keterbatasan pengetahuan
mereka mengenai pentingnya perawatan ibu
pasca persalinan dan bayinya. Hal ini dapat diketahui dari tujuan pemberian
ramuan pasca persalian hanya terbatas untuk memperlancar keluarnya darah kotor,
memperbanyak air susu ibu serta melemaskan payudara yang keras dan bengkak. Nama-nama
tetumbuhan perawatan pasca persalinan tersebut yaitu foo, sampalu, gholo, buamalaka, pakadawa, tolihe, welagho atau
siwalase, roda, dampaka, dan tongkoea. Cara penggunaannya dengan meminum
air rebusan ramuan kulit kayu tetumbuhan tersebut.
Demikian pula
berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan beberapa jenis tumbuhan obat yang
ditanamam di lingkungan pekarangan penduduk, yang digerakkan melalui Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Jenis-jenis tumbuhan obat yang
umumnya ditanam di pekarangan rumah antara lain: kapaea, ntanga-tanga, taporindi,
dan katola. Masyarakat etnik
Muna juga memiliki persatuan yang kuat untuk menjaga kelestarian lingkungan
sekitarnya. Hutan selain sebagai sumber air juga merupakan sumber bahan baku
tumbuhan obat. Jenis tumbuhan yang berfungsi menjaga kelestarian sumber air,
sekaligus berfungsi sebagai tumbuhan yakni
soni, lansale, sosorea, rumba, kafofo,
dan rogo.
Terkait dengan tanaman
obat, cara pemanfaatan, dan fungsinya bagi masyarakat etnik Muna akan
ditampilkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1:
Nama-Nama Tanaman Obat, Cara Pemanfaatan, dan Fungsinya
Nama
Tanaman
|
Bagian
|
Cara
Pemanfaatan
|
Fungsi
Tanaman dalam Pengobatan
|
foo
|
kulit
kayu
|
dicampur
jenis lainnya, direbus, diminum
|
digunakan
untuk mengobti pasca persalinan
|
gholo
|
kulit
kayu
|
dicampur
jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
pasca persalinan
|
sirkaya
jawa
|
daun/pucuk,
|
direbus dan diminum
|
obat panas dalam
|
dongkala
|
daun
|
daun
dilukai, direndam dalam air, diteteskan
|
obat
rabun mata
|
betau
|
biji
|
ditumbuk,
dioleskan
|
obat
sakit kudis
|
dampaka
|
getah
kulit
kayu
|
diteteskan
ke kapas, ditutupkan
dicampur
dengan jenis lainnya, direbus, diminum,
|
obat
gigi berlubang
obat
pasca persalinan
|
tongkoea
|
kayu
|
dicampur
dengan jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
pasca persalinan
|
Tolihe
|
daun
kulit
kayu
|
direbus
airnya diminum
dicampur
jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
muntaber
obat
pasca persalinan
|
taporindi
|
daun
|
ditumbuk,
air untuk kompres
|
obat
demam
|
dampaka
|
getah
kulit
kayu
|
diteteskan
ke kapas, ditutupkan
dicampur
dengan jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
gigi berlubang
obat
pasca persalinan
|
tongkoea
|
kayu
|
dicampur
dengan jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
pasca persalinan
|
Nii
|
daun muda/pucuk
|
dicampur
akar alang-alang, direbus, diminun
|
obat
darah tinggi
|
koba-koba
|
daun
|
diremas,
dioleskan
|
obat luka
|
kadeu-deu
|
daun
|
dipanggang,
diremas, dioleskan
|
obat
bengkak
|
kaembu-embu
|
daun
|
direbus,
diminum
dicampur
daun bhontu dan kasaga-saga, diremas, diminum pagi hari sebelum makan
|
obat
pegal-pegal
obat
panas dalam
|
rondole
|
daun
|
diremas,
disaring, diminum
|
obat
panas dalam
|
pakadawa
|
daun
|
dicampur
daun ombu, kasaga-saga, bontu, diremas, diminum
|
obat
panas dalam
|
kapaya
|
kulit
kayu
daun
buah
|
dicampur
jenis lainnya, direbus, diminum
dicampur
dengan daun buamalaka, direbus, diminum
buah
yang melekat di batang, diparut, disaring, diminum
|
obat
pasca melahirkan
obat
malaria
obat
malaria
|
kalima-limanondoke
|
daun
|
ditambah
kapur sirih, diremas, diminum
|
obat
kudis
|
Soni
|
kulit
kayu,
|
direbus,
diminum
|
obat
muntah darah
|
kamba-kamba
|
daun-akar
|
direbus,
diminum
|
obat
maag dan luka
|
kapati-pati
|
getah
|
dioleskan
|
mematangkan
bisul
|
tanga-tanga
|
empulur
batang muda
|
batang
muda, dikikis, direndam, airnya diminum, bila perlu ditambah dengan kuning
telur
|
obat
kencing darah
|
kagai-gai
|
seluruh
tumbuhan
|
direbus,
diminum
|
obat
cacingan
|
sampalu
|
kulit
kayu
|
dicampur
jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
pasca melahirkan
|
kasaga-saga
|
daun
|
dicampur
daun bontu dan obu, diremas, diminum pagi hari sebelum makan
|
obat
panas dalam
|
dara-dara
|
buah
|
buah
dibakar, bijinya ditumbuk, ditambah air, disaring, diminum
|
obat
demam
|
saubandara
|
daun
|
ditambah
kapur sirih, digosokkan atau diiris, direndam di minyak
|
obat
kurap
|
roda berduri
|
daun
|
dicampur
jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
pasca melahirkan
|
kalamandinga
|
buah
|
ditumbuk,
diperas, diminum
|
obat
cacingan
|
kamandawa
|
daun
|
dicampur
air dan daun brondole, diremas-remas, diminum
|
obat
panas dalam
|
welagho
|
kulit
kayu
|
dicampur
jenis lainnya, direbus, diminum
|
obat
pasca melahirkan
|
lansale
|
buah
|
buah, dihirup-hirup
|
obat pilek
|
kumis
kucing
|
daun
|
daun, direbus,
diminum
|
obat demam
|
Puno
|
daun
|
garam, diremas,
airnya diminum
|
obat cacingan
|
sosoroea
|
empulur batang
|
dioleskan pada
bagian yang sakit
|
obat cacar air
|
rumba
|
buah
|
diremas, dioleskan
|
obat cacar air dan
panas dalam
|
Bontu
|
daun muda/pucuk
|
dicampur daun
kasaga, bumalaka, ombu, kambadawa, direbus, diminum
|
obat panas dalam
|
katola
|
kayu
|
dikikis, ditambah
asi, teteskan pada mata
|
obat trahom
|
martawali
|
kayu
|
direbus, airnya
diminum
|
obat malaria
|
Libho
|
umbut
|
dikikis, ditambah
asi, diperas, diteteskan
|
obat trahom
|
robhanggai
|
kulit
kulit
|
dikikis, ditambah
air, dioleskan
dicampur jenis
lainnya, direbus, diminum
|
obat luka
obat pasca
persalinan
|
buamalaka
|
daun
|
direbus, diminum
|
obat panas dalam
dan diare
|
|
daun muda
pucuk
|
direbus, diminum
dikunyah, diisap
airnya, ditelan
|
obat batuk
obat batuk
|
Dana
|
akar
|
dicampur daun pucuk
niiwe, direbus, diminum
|
obat batuk ginjal
|
towulambe
|
umbul
|
dikunyah, diisap
airnya, ditelan
|
obat batuk
|
katimboka
|
batang
|
direbus, diminum
|
obat batu ginjal
|
bangkudu
|
buah
|
diparut, diperas,
diminum
|
obat penyakit
kuning
|
sauwia
|
kayu
|
dikikis, ditambah
asi, diperas, diteteskan
|
obat trachoma
|
kase-kase
|
kulit
|
ditumbuk, dioleskan
|
obat luka
|
kosambi
|
daun
|
dicampur daun
buamalaka, direbus, diminum
|
obat berak darah
|
Roie
|
seluruh tumbuhan
|
direbus, diminum
|
obat sakit dalam
|
gontoghe
|
daun muda/pucuk
|
direbus, diminum
|
obat demam dan
sayuran
|
wonolita
|
daun
|
diremas, digosokkan
|
obat
gatal-gatal/kudis
|
gaharu
|
biji
|
ditumbuk, dioleskan
|
obat sakit kulit
|
kamena-mena
|
daun
|
dicampur daun ombu,
direbus, diminum
|
obat panas dalam
|
patiwala
|
daun
daun
|
diremas, diteteskan
direbus, diminum
|
obat luka
obat panas dalam
dan darah tinggi
|
Rogo
|
daun
daun
|
direbus, diminum
diremas-remas,
dioleskan
|
obat demam
anak-anak
obat pilek
|
kabhangkara
|
daun
|
diperam di dalam
bara api, dioleskan pada persendian
|
obat cacingan
|
kolobhe
|
buah
|
diparut, disaring,
ditiris airnya
|
obat tipus
|
4.
Catatan Akhir
Dari kajian ekolinguistik dan ekobotani dapat
diidentifikasi jenis tumbuhan telah dimanfaatkan masyarakat etnik Muna sebagai
bahan obat tradisional dan berfungsi sebagai pelestarian lingkungan, terutama
dalam mencegah bahaya erosi atau banjir. Dari kajian ekolinguistik ditemukan
jenis tumbuh-tumbuhan obat tersebut tumbuh liar di lingkungan pedesaan,
dilingkungan semak belukar, di lingkungan kebun atau lading dan kawasan hutan
di Muna. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa sebagian masyarakat etnik Muna
telah sadar akan pentingnya tanaman obat keluarga. Hal ini terlihat pada
program penanaman TOGA yang dicanangkan oleh pemerintah setempat berjalan cukup
baik.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Cetakan Keempat.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. Penyusutan Tutur dalam
Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Tesis). Medan: Sekolah Pascarjana USU.
Fill,
Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The
Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London: Continuum.
Koetjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Laliweri, A., 1983. Prasangka
dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta :
LkiS.
Lombard, Denys. 1981. “Pandangan
Orang Jawa terhadap Hutan”, dalam Marcel Bonneff, Citra Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan.
Suparlan, Parsudi, 1981. “Manusia,
Kebudayaan, dan Lingkungannya Perspektif Antropologi Budaya”, dalam Majalah
Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid IX No. 2 dan 3. Jakarta: Fakultas Sastra UI.
Suputra,
Pande Made. 2006. ”Identitas Etnis dan Otonomi Daerah dalam Membangun
Multikulturalisme di Indonesia”. Dalam I.B.G. Pujaastawa (Ed.). Wacana Antropologi Kusumanjali untuk Drs. I
Wayan Gerya. Denpasar: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas
Udayana.
Stanfieled II, J.H. 1994. ‘Ethnik Modelling in
Qualitative Research’, dalam B.K Denzim dan Y.S. Lincoln, Handbooks of Qualitative Research. London : Sage Publications.
[1] Tomuna terdiri atas dua suku kata yaitu to berarti Orang Muna atau Wuna,
sehingga secara umum Tomuna adalah
‘orang Muna’.
[2] La Ode S. Djaruju adalah guru besar
Antropologi Universitas Haluoleo
[3] Trabus. 2010. Herbal Indonesia
Berkhasiat Bukti Ilmiah & Cara Racik. PT Trubus Swadaya, Jakarta .
[4] Hariana, Arie 2009. Tumbuhan Obat dan
Khasiatnya Seri 1 – 3. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar