Selasa, 19 Februari 2013


Mengkreasi Produk Kajian Ekolinguistik dan Eko-Botani
Menuju  ke Arah Penggalian Pengobatan Tradisional dalam Naskah Kuno pada Masyarakat Etnik Muna

Oleh:
Hadirman
1. Pendahuluan                                                       
Etnik Muna, secara etimologis berasal dari kata ‘Wuna’. Wuna merupakan salah satu wilayah kepulauan yang terletak di ujung jazirah tenggara pulau Sulawesi. Masyarakat etnik Muna menyebut dirinya sebagai orang Tomuna[1] yang merupakan penduduk asli Kabupaten Muna. Adapun ciri-ciri orang Tomuna adalah sebagai berikut; tinggi badan kurang lebih 160 cm, besar badan sedang, mata sedang (tidak besar tidak sipit), rambut berombak, warna kulit gelap. Menurut La Ode S. Djaruju[2], ‘jika dilihat dari ciri-ciri fisik yang dimilikinya, maka orang Muna cenderung mendekati rumpun orang Ambon (Maluku) atau orang Timor (Flores) atau percampuran antara keduanya’.                             

Terminologi pernaskahan (dalam hal ini naskah-naskah kuno) sebagai konstruksi sumber ilmu pengetahuan dan sebagai sumber informasi tentang pengobatan tradisional, dan jenis-jenis tanaman merupakan pusat ingatan kolektif suatu komunitas. Perlu diungkap di sini bahwa kekuatan nilai-nilai yang terdapat di dalam naskah-naskah kuno sarat dengan nilai-nilai yang potensial untuk dikreasi menjadi kajian yang memberikan pencerahan kepada masyarakat lebih luas. Pernaskahan terkait pula  dengan penanda dan informasi masa lalu, memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Paradigma pernaskahan jika diartikulasi dalam diskursus dunia klinis, tentunya akan menjadi suatu informasi baru dalam ranah keilmuan, karena memang di dalam naskah-naskah kuno informasi tentang dunia kesehatan, nama-nama tanaman obat, dan cara pengobatannya, termasuk konsepsi tentang pengobatan tradisional yang ada dalam kognisi masyarakat Muna pada masa lalu, akan terekam secara verbal di dalam naskah-naskah kuno yang ada pada saat ini. Hanya saja, untuk mendapatkan naskah-naskah kuno dewasa ini, diperlukan kesungguhan pada peneliti naskah dalam mengungkap nilai-nilai cara pengobatan yang ada di dalamnya.

Dalam konteks perenungan ini, dinamika dan kompleksitas kajian ekolinguistik, ekobotani, dan naskah-nasakah kuno, dipersoalkan dan dikaji dalam perspektif kajian interdisipliner. Kajian dan renungan kritis tentang ketiga aspek ini diupayakan untuk mencoba memetakan kenyataan hidup kajian ekolinguistik, ekobotani dan pernaskahan. Perlu disadari dan direnungkan secara terus-menerus pula, bahwa “kajian ekolinguistik dan ekobotani” dapat membangun imajinasi, dan kesadaran untuk menjadi manusia yang bermartabat dan berkeadaban dalam dimensi keilmuan, termasuk dalam dunia pengobatan tradisional. Akhir-akhir  ini, adanya malpraktik, peracikan obat yang tidak taat asas, semakin memberi ruang pada kajian ekolinguistik, ekobotani, dan naskah yang mana di dalamnya tersimpan kearifan pengobatan tradisional, dan jenis-jenis tanaman obat suatu komunitas, termasuk etnik Muna.              Secara kreatif, naskah-naskah kuno memang merekam informasi dan merefleksikan kenyataan yang ada di masyarakat dan berisi nilai-nilai yang bisa dikreasi menjadi sesuatu yang bernilai dalam dunia medis tradisional. Dalam konteks perbincangan ini, lingkup bahasan dibatasi. Selain pemetaan sekilas tentang potensi naskah-naskah kuno, pembedahan kreasi produk kajian ekolinguistik dan ekobotani menuju ke arah penggalian pengobatan tradisional, termasuk jenis-jenis tanaman obat dalam naskah-naskah kuno sangat diperlukan. Kondisi naskah-naskah kuno itu memang menyatu dengan masyarakat pemiliknya. Betapa sesungguhnya kekuatan dan nafas naskah-naskah kuno direpresentasikan oleh peran-peran bermakna dan implementasi nilai naskah-naskah kuno tersebut. Inilah sesungguhnya simpul kusut yang menjadi fokus perhatian dan pokok persoalan. Tanpa mengganggu pertumbuhan kajian naskah-naskah kuno selama ini, terutama demi membangun kesatuan dan keutuhan bidang kajian yang multidisiplin, multietnik, dan multikultur, kuat-lemahnya nafas hidup dan peran naskah-naskah kuno, menarik, bahkan mendesak untuk dibedah secara mendalam. Pembedahan dimaksudkan untuk menjelaskan dan menemukenali potensi dan peran produk kajian ekolinguistik dan ekobotani dalam memperkaya kajian naskah-naskah kuno pada masyarakat etnik Muna.                                                                                                       

Mengkreasi produk kajian ekolinguistik dan ekobotani yang dimanfaatkan dalam kerangka pengkajian naskah-naskah kuno di berbagai kepentingan dan peruntukan, merupakan obsesi akademis dan solusi pragmatis yang perlu dilakukan. Itulah titik mula dan sasaran akhir telaahan ringan ini. Selanjutnya langkah-langkah strategis unggulan dalam penggalian dalam konteks naskah-naskah kuno atau sebaliknya “kajian ekolinguistik dan ekobotani berbasis naskah-naskah kuno”, dapat dilakukan dan diperbincangkan secara sistematis dan berkesinambungan. Di atas fakta tentang lemahnya, peran naskah-naskah kuno dalam dunia medis pada bangsa ini, rekomendasi mengkreasi produk kajian ekolinguistik dan ekobotani menuju ke arah penggalian pengobatan tradisional, termasuk temuan nama-nama tanaman obat dalam naskah-naskah kuno menjadi keniscayaan dalam kerangka kepedulian, pengembangan, dan penerapan kajian naskah-naskah kuno dalam dunia medis.

2.   Refleksi Ringan atas Kajian Ekolinguistik—Ekobotani dan Tanaman Obat yang   Terkandung dalam Naskah-Naskah Kuno pada Masyarakat Etnik Muna        

Kajian ekolinguistik, dan ekobotani dalam kajiannya memfokuskan diri pada penemuan leksikon-leksikon tua yang terekam secara verbal dalam kognisi masyarakat dan dalam naskah-naskah kuno. Perlu dikemukakan di awal tulisan ini bahwa berdasarkan observasi di lapangan dan wawancara mendalam dengan beberapa ahli budaya Muna bahwa masyarakat etnik Muna sampai saat ini belum ditemukan naskah tertulis yang berisi naskah-naskah dalam dunia pengobatan. Pengkajian tentang pengobatan tradisional dan tanaman-tanaman obat pada masyarakat etnik Muna, dengan memanfaatkan kajian ekolinguistik dan ekobotani, informasi tentang dunia pengobatan pada masyarakat Muna bisa “diawetkan” terutama dengan menghimpun leksikon, nomina, verbal, klausa, dan wacana, yang kerapkali digunakan oleh masyarakat etnik Muna. Dengan “pengawetan” kajian tentang jenis-jenis tanaman obat, cara pengobatan, dan konsepsi sehat pada masyarakat etnik Muna dari kajian bidang ilmu di atas, menjadi suatu keniscayaan pada kajian naskah kuno masa depan hasil kajian itu akan dapat dimanfaatkan untuk mengungkap lebih cepat, akurat, dan secara mendalam kajian naskah-naskah kuno pada masyarakat etnik Muna.  
Untuk memahami pentingnya kajian ekolinguistik dan ekobotani dalam penggalian pengobatan tradisional, termasuk identifikasi tanaman obat dalam naskah-naskah kuno pada masyarakat etnik Muna, maka kita harus mengetahui dulu pengertian ekolinguistik, ekobotani, naskah kuno, dan etnik Muna. Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari hubungan ekosistem dan linguistik. Cabang linguistik ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen mendefinisikan ekolinguistik “as the study of interactions between any given language and its environment” (ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antarbahasa yang ada dengan lingkungannya.” Ekolinguistik menjadi paradigma baru dalam kajian bahasa yang tak hanya melibatkan konteks sosial namun juga konteks ekologis. Ada empat istilah yang merujuk pada kajian ekolinguistik, yaitu linguistic ecology, ecological linguistics, the ecology of language/language ecology, dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009:5). Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi bahasa/bahasa ekologi, dan ekolinguistik (al-Gayoni, 2010:25). Dalam bahasa lain, dikenal pula istilah Ecologie des langues/Ecologie du langage, Linguistique ecologique, Ecologie linguistique dan Ecolinguistique (Perancis), Okologie der Sprache/sprachologie, Okologische Linguistik, Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman), serta Ecologia des las lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol) (Lechevrel, 2009:5 dalam al-Gayoni, 2010:26). Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugen dalam Fill & Mühlhäusler, 2001:57). Kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (al-Gayoni, 2010:31).
Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (ed) (2001:14), membagi lingkungan ke dalam tiga bentuk, pertama, lingkungan fisik (ragawi) yang mencakupi karakter geografis seperti topografi negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi maupun pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hutan). Kedua, lingkungan ekonomis (kebutuhan dasar manusia) yang terdiri atas flora, fauna, dan sumber mineral yang ada pada daerah tersebut. Ketiga, lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang lebih penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Dari ketiganya, lingkungan fisik dan lingkungan sosial sangat memengaruhi realitas keberadaan bahasa.                                                             Kajian ekolinguistik merupakan kajian kebahasaan, yaitu bahasa yang hidup karena digunakan, lisan ataupun tulisan sebagai fungsi sosial yang diemban oleh bahasa. Dimensi fungsi sosio-ekologis bahasa dalam perspektif ekolinguistik, bahasa tidak lagi diposisikan sebagai fakta dalam kajian linguistik formal, melainkan bahasa dalam naskah-naskah kuno pun dipandang sebagai fakta kebudayaan yang sarat makna.
Konsep sosio-ekologis masyarakat etnik Muna bisa saja terekam dalam naskah-naskah kuno yang dimiliki masyarakat ini dengan berbagai bentuk, isi, dan fungsinya terhadap pemeliharaan, dan kelangsungan lingkungan. Biasanya pencitraan (gambaran) tersebut tergambar dengan jelas dalam perbendaharaan kosa kata yang ada dalam teks naskah kuno tersebut. Kosa kata tersebut mengandung berbagai berbagai konsep, muatan, dan fungsi terkait dengan pemeliharaan dan penyelamatan ekosistem.    
Botani adalah sebagai ilmu biologi yang mempelajari seluk neluk tumbuhan dan kehidupannya. Ekologi adalah cabang biologi yang mempelajari seluk-beluk makhluk hidup dengan lingkungan tempat tinggalnya (habitatnya). Terkait dengan kajian eko-botani, Lombard (1981:263), meskipun jenis-jenis pohon telah didaftarkan oleh para ahli tumbuhan dan penggunaannya oleh para eko-botanis, masih sedikit yang kita ketahui tentang sejarah hutan sendiri, dan terutama tentang tahap-tahap kemerosotannya.  Naskah kuno adalah dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak. 
Naskah kuno (manuskrip) adalah dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak. Kata tersebut juga bisa berarti karangan,surat, dan yang masih ditulis dengan tangan Berbicara tentang naskah kuno berati berbicara mengenai informasi, karena naskah kuno memiliki nilai informasi yang tentu sangat berharga baik ditinjau dari sejarah naskah itu sendiri maupun informasi yang tertulis di naskah tersebut.
Kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Narrol dalam Laliweri, 1983:267). Koentjaraningrat (1990:264) mengartikan suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan kebudayaan, yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Kesatuan kebudayaan dan bahasa dalam suatu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi berdasarkan konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok masyarakat tercermin, antara lain dengan ragam bahasa yang mereka gunakan dalam konteks sosial dan konteks budaya. Bart (1998) (dalam Suputra, 2006:70) mendefinisikan suku bangsa atau etnik sebagai kelompok manusia yang memiliki ciri dan kebersamaan secara intern dan perbedaan secara eksternal dengan kelompok lainnya, tidak saja karena ia memiliki nilai budaya, tetapi juga bahasa yang khas menjadi identitas kelompoknya. Etnik melekat pada kelas, gender, usia, wilayah, dan agama (Stanfield II, 1994:175), juga pada sumber daya (ekonomi) yang tersedia. Abdullah (2010:86) menyatakan etnik selain merupakan konstruksi biologis juga merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mendapatkan artinya dalam serangkaian interaksi sosial budaya.  Konsep etnik dalam penelitian ini mengacu pada suku bangsa, kelompok etnik atau suatu populasi yang memiliki suatu ruang atau tanah leluhur guna menumbuhkembangkan identitasnya yang dicirikan berdasarkan wujud kebudayaan dan corak bahasa yang digunakannya dalam kapasitasnya sebagai unsur budaya, indeks budaya, dan simbol budaya dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial.

3. Hasil Kreasi Produk Kajian Ekolinguistik dan Ekobotani
Forde (1963) dalam (Suparlan, 1981:237) mengatakan bahwa hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia. Tax (1953) dalam (Suparlan, 1981:237-238), dengan menggunakan kebudayaan inilah manusia mengadaptasi dengan lingkungannya dan dalam proses adaptasi ini manusia mendaya-gunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya.                                                  Demikian pula, kemampuan kritis dan kreatif untuk memahami kajian naskah-naskah kuno melahirkan tafsir baru dalam pikiran dan ranah keilmuah pernaskahan. Keringnya kajian pernaskahan dalam memetakan kearifan bahasa yang terkandung di dalamnya, terutama dalam upaya menemukenali kearifan pengobatan, tanaman obat dan sebagainya harus mampu dimaknai kembali secara praksis dalam kaca mata kajian multidisipliner. Penelusuran naskah-naskah dalam dunia pengobatan tradisional, para peneliti naskah harus membaca ulang konten temuan dalam naskah, serta menemukan celah untuk bersanding dengan kajian disiplin ilmu lain, semisal kajian ekolinguistik dan ekobotani.
Dalam konteks pemikiran dekonstruktif, kajian untuk menemukan pengobatan tradisional, termasuk jenis-jenis tanaman obat dalam naskah kuno ternyata dapat pula didekati dengan menggunakan kajian disiplin lain, semisal kajian ekolinguistik dan ekobotani. Kedua kajian ini digunakan untuk memasuki dan membedah pengetahuan tentang pengobatan tradisional dan jenis-jenis tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat etnik Muna.                                                                                       Kajian ekolinguistik dan ekobotani dapat dikatakan sebagai sebuah resep. Resep-resep yang ada di dalam kajian ekolinguistik adalah teridentifikasinya sejumlah leksikon jenis-jenis tanaman obat yang potensial digunakan sebagai resep untuk pengobatan pada masyarakat etnik Muna. Demikian pula halnya kajian ekobotani, akan dapat ditemukan beberapa nama pohon-pohon lokal yang pada masa dulu, atau mungkin di dalam naskah kuno pada masyarakat Muna terdapat leksikon yang menyebutkan tentang hal itu. Resep-resep yang ada dalam produk kajian ekolinguistik dan ekobotani terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyelidiki, menyeleksi nama-nama tumbuhan atau pohon yang berfungsi sebagai obat pada masyarakat etnik Muna. Lewat kreasi kajian ekolinguistik dan ekobotani ini, setelah diseleksi itu, secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa dalam bentuk daftar leksikon yang didalami maknanya berdasarkan alam pikiran masyarakat pendukungnya, sehingga esensi makna yang terdapat dalam naskah kuno semakin terungkap dengan menyandingkan model kajian ini.                                    
Awal kelahirannya kajian ekolinguistik adalah melihat tautan antara bahasa dan lingkungan. Pemikiran kritis ini, mengindikasikan bahwa masih terdapat ruang kosong untuk melihat kajian naskah-naskah kuno ke arah multiperspektif dan kajian interdisipliner untuk memperkokoh dan memperluas perbincangan tentang kajian naskah-naskah kuno. Penggalian secara kritis khazanah naskah-naskah kuno di nusantara, perlu mendapat sentuhan agar dimensi kajian tanaman-tanaman obat yang terkandung di dalamnya dapat diungkap lebih, berupa kreasi kultural. Kemasan kultural dengan frame atau kemasan yang mampu memberi warna baru dalam kajian naska-naskah kuno di Indonesia, meskipun tanpa harus tercerabut dari akar naskah aslinya. Naskah-naskah kuno yang di dalamnya terkandung berbagai jenis nama-nama tanaman obat merupakan salah satu produk naskah yang berpotensi dikreasi penggalianya dan pemanfaatannya untuk kepetingan masyarakat secara luas.                                                                                                                    Penggalian jenis-jenis tanaman obat dengan mengkreasi produk kajian ekolinguistik dan ekobotani tanpa harus mengambil mentah-mentah model, pola, dan bentuk temuan dari kajian keduanya. Pembedahan kajian naskah-naskah kuno dengan ekolinguistik dan ekobotani akan mampu menjadi titik awal dan mencerahkan dalam wahana keilmuan pernaskahan, terutama berkaitan dengan naskah-naskah kuno.
Perlunya penggalian jenis-jenis tanaman obat tradisional, dan cara-cara pemanfaatannya bagi kehidupan manusia perlu mendapat perhatian serius, di samping karena tanaman langka terancam punah, juga karena kecilnya perhatian terhadap uji klinis tanaman, khususnya tanaman obat, seperti yang diungkapkan TRUBUS Infokit Herbal Indonesia Berkasiat dalam Vol. 8 dikatakan bahwa tanaman ungulan nasional yang telah diuji klinis baru 9, yaitu salam, sambiloto, kunyit, jaher merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabai jawa, dan mengkudu[3]. Bukti kecilnya perhatian terhadap tanaman obat, menurut Hariana, di Indonesia dikenal lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obat. Namun, baru 1.000 jenis saja yang sudah didata, dan baru sekitar 300 jenis yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional[4]. Hal ini menunjukkan betapa kecilnya perhatian maupun penggunaan tanaman obat, termasuk pada masyarakat etnik Muna dewasa ini.                                                                                                     Kreasi produk kajian ekolinguistik dan ekobotani sebagai langkah awal menuju pemahaman naskah-naskah kuno diharapkan turut serta mendorong berbagai kajian atas naskah-naskah kuno yang dapat memberikan kontribusi yang bermakna terhadap kajian linguistik terapan, naskah-naskah kuno itu sendiri dan pengetahuan keilmuan masyarakat dalam konteks kekinian. Berdasarkan temuan di lapangan, berikut ini merupakan hasil identifikasi nama-nama tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, cara penggunaannya, dan fungsinya dalam dunia klinis pada masyarakat etnik Muna.                                                                Leksikon tanaman obat pada masyarakat etnik Muna, misalnya bea yang sering dimanfaatkan untuk obat batuk. Keanekaragaman jenis tanaman pada masyarakat etnik Muna ini belum memiliki data base secara ekobotani. Kajian ekobotani dalam makalah ini diarahkan pada pendatabasean nama-nama tubuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat pada masyarakat etnik Muna.                                                  
Dari hasil wawancara dengan tokoh adat masyarakat Muna diketahui bahwa dalam mengobati suatu penyakit, masyarakat Muna tidak hanya mengobati penyakit-penyakit yang umum dan ringan saja seperti kudis, bisul, kurap, gatal, tetapi juga mampu melakukan pengobatan penyakit yang cukup berat seperti darah tinggi, malaria, dan batu ginjal. Pengobatan terhadap penyakit ini dilakukan masyarakat setempat karena terdesak oleh kurang tersedianya fasilitas kesehatan dan jarak tempuh yang cukup jauh. Untuk pengobatan darah tinggi masyarakat Muna menggunakan rebusan ramuan yang terdiri dari kulit batang niiwe  dan akar dana (alang-alang) atau menggunakan sari daun patiwala. Selain sebagai obat darah tinggi daun patiwala juga digunakan untuk pengobatan luka dan panas dalam.                                                                                          Di samping pemanfaatan dari beberapa jenis tumbuhan yang merupakan informasi baru, beberapa jenis tumbuhan obat lainnya seperti kilangkilalai, tolihe, towulambe, lansale, dan kafofo mempunyai keunikan dalam cara pengambilan, penggunaan ataupun khasiatnya. Penggunaan kilangkilalai dalam pengobatan tradisional merupakan informasi baru salah satu tumbuhan obat di Indonesia. Penduduk masyarakat etnik Muna memanfaatkan daunnya yang dipanaskan, kemudian diremas-remas dan airnya diteteskan  atau dioleskan pada bagian yang sakit sebagai obat luka. Menurut masyarakat khasiatnya sebagai obat luka paling mujarab jika dibandingkan dengan tumbuhan obat luka lainnya.
Tumbuhan yang ditemukan di lingkungan pantai di Muna adalah tolihe. Daunnya  dimanfaatkan oleh penduduk lokal sebagai obat muntaber. Pengambilan daun untuk pengobatan cukup unik yaitu diambil sebelum matahari terbit dan berjumlah ganjil dengan harapan bahwa daun tersebut masih segar. Salah satu dari daun tersebut dianggap sebagai pelawan terhadap penyakit penderita. Dalam upaya pencegahan meluasnya penyakit tersebut, maka keluarga penderita memberikan air rebusan daun tolihe kepada anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya. Pemanfaatan lain tolihe, antara lain kulit kayunya digunakan sebagai campuran dalam ramuan perawatan pasca persalinan. Towulambe merupakan salah satu jenis rerumputan, perawakannya menyerupai tanaman tebu. Sari batang mudanya digunakan sebagai obat batuk. Secara umum jenis tumbuhan ini ditanam untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, pencegah erosi pada lingkungan tanah berpasir, tanaman hias, dan bahan baku bubur kertas (Manidool, 1992). Pada masyarakat etnik Muna jenis tanaman ini banyak tumbuh di lingkungan sekitar kebun-kebun penduduk. Lansale  merupakan semak tahunan beraromatik, tumbuh meliar di tepi jalan, kebun atau semak belukar. Masyarakat etnik Muna memanfaatkan tumbuhan ini sebagai obat pilek dengan cara menghirup aroma buahnya.
Kafofo ditemukan tumbuh meliar di lingkungan rawa-rawa atau di lingkungan muara sungai.  Persebaran tanaman ini  di Indonesia adalah di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi bagian barat. Sebarannya sampai di Sulawesi Tenggara diduga karena bijinya terbawa arus air laut. Penduduk masyarakat etnik Muna memanfaatkan jenis ini sebagai obat luka, dengan mengiris halus daunnya, kemudian direndam di dalam minyak dan dioleskan pada bagian yang sakit.
Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional oleh masyarakat etnik Muna dapat dalam bentuk tunggal atau dicampur dengan jenis lainnya (ramuan). Penggunaannya secara tunggal umumnya untuk mengatasi penyakit yang bersifat ringan, misalnya bengkak atau memar dapat menggunakan daun kadeu-deu yang dipanggang, kemudian diremas-remas dan airnya dioleskan pada bagian yang sakit; getah kapati-pati yang diteteskan pada bagian yang sakit digunakan untuk mempercepat pecahnya bisul dan air rebusan batang katimboka diminum sebagai obat batu ginjal.               
Penggunaan tumbuhan obat dalam bentuk ramuan umumnya untuk penyakit darah tinggi, berak darah, panas dalam, dan perawatan pasca persalinan. Ramuan untuk pengobatan penyakit darah tinggi terdiri dari   pucuk daun nii dan akar dana; ramuan untuk penyakit berak darah menggunakan daun kosambi dan buamalaka; sedangkan untuk penyakit panas dalam menggunakan ramuan daun kamena-mena  dan ombu.        
Dari hasil kajian ekolinguistik dan ekobotani pada masyarakat etnik Muna ditemukan jenis-jenis tumbuhan yang kerapkali digunakan untuk perawatan pasca persalinan sangat sedikit. Sedikitnya jenis tumbuhan yang digunakan masyarakat lokal pada masyarakat etnik Muna kemungkinan disebabkan karena keterbatasan pengetahuan mereka  mengenai pentingnya perawatan ibu pasca persalinan dan bayinya. Hal ini dapat diketahui dari tujuan pemberian ramuan pasca persalian hanya terbatas untuk memperlancar keluarnya darah kotor, memperbanyak air susu ibu serta melemaskan payudara yang keras dan bengkak. Nama-nama tetumbuhan perawatan pasca persalinan tersebut yaitu foo, sampalu, gholo, buamalaka, pakadawa, tolihe, welagho atau siwalase, roda, dampaka, dan tongkoea. Cara penggunaannya dengan meminum air rebusan ramuan kulit kayu tetumbuhan tersebut.
Demikian pula berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan beberapa jenis tumbuhan obat yang ditanamam di lingkungan pekarangan penduduk, yang digerakkan melalui Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Jenis-jenis tumbuhan obat yang umumnya ditanam di pekarangan rumah antara lain: kapaea, ntanga-tanga, taporindi, dan katola. Masyarakat etnik Muna juga memiliki persatuan yang kuat untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya. Hutan selain sebagai sumber air juga merupakan sumber bahan baku tumbuhan obat. Jenis tumbuhan yang berfungsi menjaga kelestarian sumber air, sekaligus berfungsi sebagai tumbuhan yakni soni, lansale, sosorea, rumba, kafofo, dan rogo.                                      
Terkait dengan tanaman obat, cara pemanfaatan, dan fungsinya bagi masyarakat etnik Muna akan ditampilkan dalam tabel berikut ini.


Tabel 1: Nama-Nama Tanaman Obat, Cara Pemanfaatan, dan Fungsinya

Nama Tanaman
Bagian
Cara Pemanfaatan
Fungsi Tanaman dalam Pengobatan
foo

kulit kayu
dicampur jenis lainnya, direbus, diminum
digunakan untuk mengobti pasca persalinan

gholo
kulit kayu
dicampur jenis lainnya, direbus, diminum
obat pasca persalinan
sirkaya jawa
daun/pucuk,
direbus dan diminum
obat panas dalam

dongkala


daun

daun dilukai, direndam dalam air, diteteskan


obat rabun mata

betau
biji 

ditumbuk, dioleskan
obat sakit kudis


dampaka


getah

kulit kayu

diteteskan ke kapas, ditutupkan
dicampur dengan jenis lainnya, direbus, diminum,

obat gigi berlubang

obat pasca persalinan


tongkoea

kayu

dicampur dengan jenis lainnya, direbus, diminum

obat pasca persalinan

Tolihe


daun

kulit kayu
direbus airnya diminum
dicampur jenis lainnya, direbus, diminum
obat muntaber

obat pasca persalinan
taporindi 

daun 
ditumbuk, air untuk kompres 
obat demam

dampaka





getah

kulit kayu
diteteskan ke kapas, ditutupkan
dicampur dengan jenis lainnya, direbus, diminum

obat gigi berlubang

obat pasca persalinan

tongkoea

kayu

dicampur dengan jenis lainnya, direbus, diminum

obat pasca persalinan

Nii
daun muda/pucuk

dicampur akar alang-alang, direbus, diminun

obat darah tinggi

koba-koba
daun
diremas, dioleskan
obat luka

kadeu-deu
daun
dipanggang, diremas, dioleskan
obat bengkak

kaembu-embu
daun
direbus, diminum

dicampur daun bhontu dan kasaga-saga, diremas, diminum pagi hari sebelum makan

obat pegal-pegal

obat panas dalam

rondole

daun

diremas, disaring, diminum

obat panas dalam

pakadawa

daun

dicampur daun ombu, kasaga-saga, bontu, diremas, diminum
obat panas dalam

kapaya
kulit kayu



daun



buah

dicampur jenis lainnya, direbus, diminum

dicampur dengan daun buamalaka, direbus, diminum

buah yang melekat di batang, diparut, disaring, diminum
obat pasca melahirkan



obat malaria


obat malaria

kalima-limanondoke

daun

ditambah kapur sirih, diremas, diminum

obat kudis

Soni

kulit kayu,
direbus, diminum

obat muntah darah

kamba-kamba
daun-akar

direbus, diminum

obat maag dan luka

kapati-pati

getah
dioleskan
mematangkan bisul

tanga-tanga
empulur batang muda
batang muda, dikikis, direndam, airnya diminum, bila perlu ditambah dengan kuning telur

obat kencing darah

kagai-gai

seluruh tumbuhan
direbus, diminum

obat cacingan


sampalu

kulit kayu

dicampur jenis lainnya, direbus, diminum

obat pasca melahirkan

kasaga-saga
daun

dicampur daun bontu dan obu, diremas, diminum pagi hari sebelum makan
obat panas dalam

dara-dara
buah

buah dibakar, bijinya ditumbuk, ditambah air, disaring, diminum
obat demam

saubandara
daun

ditambah kapur sirih, digosokkan atau diiris, direndam di minyak

obat kurap

 
roda berduri
 
daun

dicampur jenis lainnya, direbus, diminum

 
obat pasca melahirkan

kalamandinga

buah

ditumbuk, diperas, diminum

obat cacingan

kamandawa

daun
dicampur air dan daun brondole, diremas-remas, diminum

obat panas dalam

welagho

kulit kayu

dicampur jenis lainnya, direbus, diminum

obat pasca melahirkan

lansale
buah

buah, dihirup-hirup

obat pilek

kumis kucing
daun

daun, direbus, diminum
obat demam

Puno

daun

garam, diremas, airnya diminum
obat cacingan

sosoroea
empulur batang
dioleskan pada bagian yang sakit

obat cacar air

rumba
buah
 diremas, dioleskan
obat cacar air dan panas dalam

Bontu
daun muda/pucuk
dicampur daun kasaga, bumalaka, ombu, kambadawa, direbus, diminum

obat panas dalam

katola
kayu

dikikis, ditambah asi, teteskan pada mata
obat trahom

martawali
kayu

direbus, airnya diminum
obat malaria

Libho
umbut
dikikis, ditambah asi, diperas, diteteskan
obat trahom

robhanggai
kulit


kulit
dikikis, ditambah air, dioleskan

dicampur jenis lainnya, direbus, diminum
obat luka


obat pasca persalinan
buamalaka
daun
direbus, diminum
obat panas dalam dan diare


daun muda

pucuk
direbus, diminum

dikunyah, diisap airnya, ditelan
obat batuk

obat batuk
Dana
akar

dicampur daun pucuk niiwe, direbus, diminum

obat batuk ginjal

towulambe
umbul
dikunyah, diisap airnya, ditelan
obat batuk

katimboka
batang

direbus, diminum
obat batu ginjal

bangkudu
buah
diparut, diperas, diminum
obat penyakit kuning

sauwia
kayu
dikikis, ditambah asi, diperas, diteteskan
obat trachoma
kase-kase

kulit

ditumbuk, dioleskan
obat luka

kosambi
daun

dicampur daun buamalaka, direbus, diminum
obat berak darah

Roie
seluruh tumbuhan

direbus, diminum
obat sakit dalam

gontoghe
daun muda/pucuk
direbus, diminum
obat demam dan sayuran

wonolita
daun
diremas, digosokkan
obat gatal-gatal/kudis
gaharu
biji

ditumbuk, dioleskan
obat sakit kulit

kamena-mena
daun

dicampur daun ombu, direbus, diminum
obat panas dalam

patiwala
daun

daun
diremas, diteteskan

direbus, diminum
obat luka

obat panas dalam dan darah tinggi
Rogo
daun

daun
direbus, diminum

diremas-remas, dioleskan
obat demam anak-anak
obat pilek

kabhangkara
daun
diperam di dalam bara api, dioleskan pada persendian
obat cacingan
kolobhe
buah
diparut, disaring, ditiris airnya
obat tipus
 

4. Catatan Akhir

Dari kajian ekolinguistik dan ekobotani dapat diidentifikasi jenis tumbuhan telah dimanfaatkan masyarakat etnik Muna sebagai bahan obat tradisional dan berfungsi sebagai pelestarian lingkungan, terutama dalam mencegah bahaya erosi atau banjir. Dari kajian ekolinguistik ditemukan jenis tumbuh-tumbuhan obat tersebut tumbuh liar di lingkungan pedesaan, dilingkungan semak belukar, di lingkungan kebun atau lading dan kawasan hutan di Muna. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa sebagian masyarakat etnik Muna telah sadar akan pentingnya tanaman obat keluarga. Hal ini terlihat pada program penanaman TOGA yang dicanangkan oleh pemerintah setempat berjalan cukup baik.


  
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Cetakan Keempat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Tesis). Medan: Sekolah Pascarjana USU.
Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London: Continuum.
Koetjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Laliweri, A., 1983. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta : LkiS.


Lombard, Denys. 1981. “Pandangan Orang Jawa terhadap Hutan”, dalam Marcel Bonneff, Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Suparlan, Parsudi, 1981. “Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya Perspektif Antropologi Budaya”, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid IX No. 2 dan 3. Jakarta: Fakultas Sastra UI.
Suputra, Pande Made. 2006. ”Identitas Etnis dan Otonomi Daerah dalam Membangun Multikulturalisme di Indonesia”. Dalam I.B.G. Pujaastawa (Ed.). Wacana Antropologi Kusumanjali untuk Drs. I Wayan Gerya. Denpasar: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Stanfieled II, J.H. 1994. ‘Ethnik Modelling in Qualitative Research’, dalam B.K Denzim dan Y.S. Lincoln, Handbooks of Qualitative Research. London : Sage Publications.
                                                                                                            


[1] Tomuna terdiri atas dua suku kata yaitu to berarti Orang Muna atau Wuna, sehingga secara umum Tomuna adalah ‘orang Muna’.
[2] La Ode S. Djaruju adalah guru besar Antropologi Universitas Haluoleo
[3] Trabus. 2010. Herbal Indonesia Berkhasiat Bukti Ilmiah & Cara Racik. PT Trubus Swadaya, Jakarta .
[4] Hariana, Arie 2009. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 1 – 3. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar